Welcome to our site

welcome text --- Nam sed nisl justo. Duis ornare nulla at lectus varius sodales quis non eros. Proin sollicitudin tincidunt augue eu pharetra. Nulla nec magna mi, eget volutpat augue. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent per conubia nostra, per inceptos himenaeos. Integer tincidunt iaculis risus, non placerat arcu molestie in.

Perjalanan ke Pulau-pulau di Togean

Sabtu, 05 Maret 2011

















Hari ke 1:
(Saat kedatangan anda di Bandara Mutiara Palu)
Anda akan bertemu oleh guide kami di Hotel Swissbel, Setelah minum secara gratis dan kemudian mengunjungi Museum Negeri Palu. Museum ini menyediakan informasi faktual tentang alam dan budaya Sulawesi Tengah. Makan siang di restoran lokal di Palu. Makan malam dan bermalam di hotel (L, D)

Hari ke2:
(Palu-Ampana)
Setelah sarapan kemudian langsung bersiap-siap untuk perjalanan selanjutnya ke Ampana sejauh 375km yang ditempuh selama 8 jam perjalanan. Makan siang akan disajikan dalam perjalanan. Bermalam di Ampana tepatnya di Hotel Oasis. Sore harinya anda dapat berkunjung ke Tanjung api dimana Anda dapat melihat pemandangan sumber api, yang apinya akan keluar.
Makan malam dan bermalam di tempat peristirahatan anda. (B,L,D)

Hari ke3:
(Ampana – Kadidiri – Pulau Togean)
Setelah sarapan selanjutnya bersiap-siap untuk perjalanan dengan kapal menuju Pulau Togean, perjalanan ini dapat ditempuh selama 5jam. Makan siang akan disajikan di Kapal. Tiba di kadidiri dan selanjutnya menuju Penginapan Wakai. Disini anda dapat menyelam, Penyelaman ini disiapkan oleh penyelam Black Marlin/paradise cottage.  Makan dan bermalam di tempat penginapan. (B,L,D)

Hari ke4:
(Kadidiri dan Lingkungan sekitar)
Sesuai dengan rencana anda sendiri(L,D)

Hari ke5:
(Kadidiri dan Lingkungan sekitar)
Sesuai dengan rencana anda sendiri(L,D)

Hari ke6:
(kadidiri-ampana)
Setelah sarapan dan melakukan perjalanan dengan kapal dan kembali ke Ampana selama 5 jam. Makan siang akan disajikan di kapal. Saat tiba di Amapana anda akan bermalam di Hotel oasis.
Sore harinya anda dapat menikmati waktu luang , makan malam dan bermalam di Hotel.(b,l,D)

hari ke7 :
(Ampana – Palu)
Dari ampana anda menuju palu dengan mengendarai mobil setelah selesai sarapan. Tiba di palu dan menuju ke Hotel palu golden dan bermalam disana. (B,L,D)

Hari ke8:
(Palu-Pulang)
Check in di Bandara Mutiara untuk perjalanan selanjutnya.
Tur Pulau Togean Selama 8hari 7 malam
Yang paling penting dalam tur ini termasuk transportasi darat/ laut, makanan + snack, biaya akomodasi, biaya buruh , biaya tur Panduan tidak termasuk gipsum pribadi biaya lain-lain: penerbangan anda dari / menuju palu, minuman tambahan, ponsel, cucian dan pajak bandara.

Souvenir / Cenderamata di Palu Sulawesi Tengah :

Kayu Hitam (Ebony) :
Eboni (Diospyros celebica Bakh) adalah jenis tanaman kayu endemik Pulau Sulawesi.

Pohon Kayu Ebony
Kayu-hitam Sulawesi adalah sejenis pohon penghasil kayu mahal dari keluarga eboni (suku Ebenaceae). Nama ilmiahnya adalah Diospyros celebica , yakni diturunkan dari kata Celebes (Sulawesi).

Pohonnya lurus dan tegak dengan tinggi sampai dengan 40 m. Diameter batang bagian bawah dapat mencapai 1 m, sering dengan banir (akar papan) besar. Kulit batangnya beralur, mengelupas kecil-kecil dan berwarna coklat hitam.

Pohon ini menghasilkan kayu yang berkualitas baik. Berwarna coklat gelap, kehitaman, atau hitam berbelang-belang kemerahan, dalam perdagangan internasional kayu hitam Sulawesi ini dikenal sebagai Macassar ebony, Coromandel ebony, streaked ebony atau juga black ebony . Nama-nama lainnya di Indonesia di antaranya kayu itam, toetandu, sora, kayu lotong, kayu maitong, dan lain-lain.

Kayu Ebony
Kayu hitam Sulawesi terutama digunakan untuk furniture mahal, ukir-ukiran dan patung, alat musik (misalnya gitar dan piano), tongkat, dan kotak perhiasan. Kayu hitam Sulawesi paling banyak terdapat di Kabupaten Poso dan termasuk jenis kayu yang paling mahal.
Karena jumlah/populasi di alam secara drastis menurun, maka sejak tahun 1990 kayu eboni sudah dinyatakan sebagai jenis kayu yang terkena larangan tebang dan dilindungi (boleh dilakukan eksploitasi atas persetujuan dan ijin khusus dari Dephut).









Oleh-oleh Khas Palu - Bawang Goreng Khas Palu

Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki oleh-oleh yang khas. Bagi warga Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), bawang goreng menjadi oleh-oleh yang wajib diberikan kepada sanak saudara ataupun teman. Kini, bawang goreng Palu telah masuk ke pasar dunia. Sebab, menurut pemerintah Sulteng, Senin (8/9), bawang goreng Palu selalu diikutsertakan dalam pameran nasional dan internasional. Dalam pameran itu, banyak warga asing yang membeli bawang goreng Palu untuk dijadikan oleh oleh ke negaranya. Seperti Prancis, Malaysia, dan China. Untuk lebih menarik pembeli, pemerintah Sultengpun mengingatkan para pengusaha agar memperbaiki kualitas produknya.

Keunggulan

Bawang goreng Palu memang memiliki keistimewaan karena cita rasanya yang khas. Yakni, gurih, renyah, dan harum. Sebab, bahan bakunya adalah bawang merah Palu. Bawang merah ini tumbuh di lembah Palu yang memiliki iklim dan jenis tanah yang berbeda. Kedua faktor inilah yang membuat umbi bawang berbau harum. Selain cita rasanya, bawang goreng ini juga tahan lama. Jika dikemas dalam alumunium foil dan disimpan di lemari pendingin, bawang ini bisa bertahan lebih dari dua tahun! Rasa dan aromanya pun tidak akan berkurang. Ingin mencobanya?

Bahan Bawang Goreng Palu : Bawang Khas Palu, Minyak Nabati dan Tanpa bahan pengawet









Abon Ikan
Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, mudah didapat, dan harganya murah. Namun ikan cepat mengalami proses pembusukan. Oleh sebab itu pengawetan ikan perlu diketahui semua lapisan masyarakat. Pengawetan ikan secara tradisional bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak. Untuk mendapatkan hasil awetan yang bermutu tinggi diperlukan perlakukan yang baik selama proses pengawetan seperti : menjaga kebersihan bahan dan alat yang digunakan, menggunakan ikan yang masih segar, serta garam yang bersih. Ada bermacam-macam pengawetan ikan, antara lain dengan cara: penggaraman, pengeringan, pemindangan, perasapan, peragian, dan pendinginan ikan.

Manfaat makan ikan sudah banyak diketahui orang, seperti di negara Jepang dan Taiwanikan merupakan makanan utama dalam lauk sehari-hari yang memberikan efek awet muda dan harapan hidup lebih tinggi dari negara lainnya. Penggolahan ikan dengan berbagai cara dan rasa menyebabkan orang mengkonsumsi ikan lebih banyak.
Abon ikan adalah jenis makanan awetan yang terbuat dari ikan laut yang diberi bumbu, diolah dengan cara perebusan dan penggorengan. Produk yang dihasilkan mempunyai bentuk lembut, rasa enak, bau khas, dan mempunyai daya awet yang relatif tahan lama.

Situs Bekas Rumah Raja Tombolotutu














Letak  situs
Rumah bekas Istana Raja Moutong terletak di Kecamatan Tinombo    Kabupaten  Parigi Moutong  Provinsi Sulawesi Tengah
Tinjauan  rumah bekas Istana raja Moutong
Istana Raja Moutong  di Tinombo ini dibangun sejak tahun 1930 oleh bangsa Belanda dengan arsitektur kolonial yang khusus diserahkan                           kepada  Raja Moutong pada waktu itu sebagai tempat kediaman raja-raja Moutong pada waktu itu bernama Hi. Kuti Tombolotutu  di angkat  pada   bulan  juni  1929  sampai   dengan   tahun   1962   yang  merupakan  negeri  tertua  dalam  kerajaan  Moutong Pengangkatan  raja  Hi. Kuti Tombolotutu  berdasarkan  calon  dari pemerintah Belanda yang mendapat dukungan dari seluruh masyarakat   di Kerajaan  Moutong  yang  ada  di wilayah  pantai  timur Kabupaten Donggala pada waktu itu sebelum berubah menjadi Kabupaten Parigi Moutong   sekarang . Raja Hi. Kuti Tombolotutu  di angkat  bukan ditinjau dari pendidikan melainkan pada keturunan almarhum raja  Tombolotutu dilahirkan  di pegunungan  Sojol  (Tolil Toli)  pada  tahun  1901  Tanggal  31 juli 1965 Raja Hi. Kuti  Tombolotutu meninggal dunia
Deskripsi  Bangunan   
Bangunan  Istana  Raja Moutong  mempunyai  teras bagian depan dan terdapat 3 (tiga) buah  kamar  tidur dan  mempunyai  ruang keluarga                          dibagian tengah  juga terdapat ruang makan raja dan keluarga sebagai                          Penunjang  bangunan  induk  terdapat  bangunan  dapur  yang  terdiri            5 (lima) ruangan (Dapur , kamar mandi , wc , gudang , kamar mandi)  lokasi  Rumah Bekas Istana Raja Moutong dengan luas halaman ± 7200 m²  bangunan induk seluas 193,75 m²  bangunan dapur seluas  79,75m².

Situs Bekas Istana Raja Mori














Letak Situs
Secara administrasi rumah bekas Istana Raja Mori terletak di desa Kolonedale Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah. Koordinat situs ini berada pada posisi astronomi 1°52 detik garis lintang selatan dan 121°15 detik bujur timur dengan ketinggian kurang lebih 20 meter dari permukaan laut dari desa Kolonedale dapat dicapai dengan kendaraan roda dua atau roda empat dengan jarak tengah kurang lebih 431 km.
Latar Belakang Sejarah
Dalam buku perlawanan sejarah Witamori disebutkan bahwa sekitar abad XV-XVI Kerajaan Luwu menguasai Kolonedale Kerajaan Mori, Bungku dan diwajibkan membayar upeti pada Datu Luwu di Palopo dan Witamori melepasakan diri dari kekuasaan Datu Luwu dan bergabung dengan Kesultanan Ternate. Pada tanggal 21 April 1906 belanda menawarkan perjanjian damai dengan Witamori yang dikenal dengan Perdamaian Wawombau tahun 1907 belanda kembali menyerang kerajaan Mori pertahanan Raja Marunduh dibenteng Wulanderi dikuasai Belanda, Raja Marunduh tewas bersama Putera Mahkota Pangeran Lawolio pada tahun 1907- 1925 usai perang terbentuk swapraja yang dibagi 4 distrik pada waktu itu Distrik Korolalaki dipimpin oleh Makole Endi Kamesi dan pada tahun 1926 Makole Endi Kamesi diganti oleh Owolu Marunduh sampai dengan tahun 1950. sejak itu kedudukan swapraja dipindahkan ke Kolonedale dan Belanda membangun fasilitas istana raja pelabuhan, rumah sakit, asrama militer dan stasiun radio. Berdasarkan rekomendasi Bupati Poso Nomor 012/0152/DP tanggal 27 Mei 1997 tentang pemberian wewenang sepenuhnya Situs Istana Raja Mori kepada DEPDIKBUD
Surat pernyataan putera ahli waris Awolu Marunduh dengan ikhlas menyerahkan Istana Raja Mori ke Pemda Poso tanggal 5 September 1997

Deskripsi Situs
Istana Raja Mori terletak di atas bukit kurang lebih 25 m dari permukaan laut dengan arah hadap timur laut, Denah bangunan istana raja mori dengan luas lokasi 960², depannya 34 m, belakangnya 30 m, samping kiri 30 m, samping kanan 30 m, denah bangunan berbentuk segi empat persegi panjang ukuran 12x12 m dan 5 x 14 m terdiri dari bangunan induk dan anak  bangunan dibangun diatas pendasi beton ukuran tinggi maksimum 1,17 m dan minimum 1,08 m dari muka tanah.

Situs Bekas Keraton Banggai


















 Letak Situs
Bangunan bekas Keraton Banggai terletak di desa Lompio, Kecamatan Banggai Kepulaun, Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah. Pulau Banggai terletak di sebelah tenggara dari Kota Luwuk. Dari kota Luwuk dapat ditempuh dengan menggunakan kapal motor dengan waktu tempuh adalah antara 8-12 jam.
Latar  Belakang Sejarah
Daerah Banggai sudah dikenal sejak adanya Kerajaan Singasari di Jawa (1222-1293) kemudian pada masa Kerajaan Majapahit, nama Banggai dikenal dengan sebutan Benggawi hal tersebut tercantum dalam kitab “Negarakertagama” yang ditulis oleh Pra Panca pada tahun 1365 Masehi.didalam pupuh 14 ayat 5 disebutkan bahwa kerajaan Benggawi termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit.
Kerajaan Banggai yang dimaksud pada saat itu adalah wilayahnya hanya meliputi banggai kepulauan saja dengan Ibu kota kerajaan adalah Banggai. Menurut informasi dari masyarakat setempat bahwa Raja Banggai yang pertama adalah seorang keturunan Jawa yang bernama Adi cokro atau lebih dikenal dengan gelar Mumbu Doi Jawa atau raja Mandapar yang memerintah sampai tahun 1625. Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa nama raja pertama adalah Adisaka, dan raja Mandapar adalah raja Banggai ke 18 sejak masa pemerintahaan Adisaka.
Pada sekitar tahun 1580 kerajaan banggai mulai meluaskan wilayah kekuasaannya sampai ke Tanjung Api Sungai Bongka, dan pulau Togong Segu perluasan wilayah ini terjadi pada masa pemerintahan raja Mumbu Doi Jawa. Selain berhubungan dengan kerajaan Majapahit. Kerajaan Banggai juga berhubungan dengan kerajaan Ternate. Banggai juga mendapat pengaruh dari Portugis pada sekitar sebelum abad IX. Pengaruh Belanda masuk Banggai terjadi pada tahun 1900.dengan kedatangan Belanda maka kerajaan Banggai lepas dari kekuasaan kerajaan Ternate selanjutnya kerajaan Banggai diberi status Belfbasturcnnae Landschap.
Pada tahun 1942 balatentara Jepang masuk ke Banggai, sehingga struktur pemerintahan kerajaan tunduk pada kekuasaan Jepang. Kemudian Pusat  Pemerinthan dipindahkan ke kota Luwuk
Bangunan bekas Kraton Kerajaan Banggai dibangun diatas sebuah bukit dengan ketinggian 11,57 meter Di atas permukan laut. Orientasi bangunan menghadap kearah barat laut luas keseluruhan bangunan adalah 221 m2 menurut keterangan yang diperoleh dari keturunan raja di Banggai bahwa Kraton Banggai dibangun pada Tahun 1927.
Konstruksi Bangunan terbuat dari bahan kayu dengan lantai semen dan atap memakai seng. Sebelum memasuki serambi depan, terdapat sebuah tangga masuk. Disebelah kanan dan kiri tangga, terdapat dua buah meriam dibuatkan dudukannya.
Dalam bangunan induk terdapat bagian – bagian seperti serambi depan, kamar tidur, dan sebuah ruang tengah. Dibelakang bangunan induk terdapat sebuah lorong yang menghubungkan bangunan induk dengan bagian belakang. Bagian belakan terdiri dari sebuah serambi, 3 buah kamar, sebuah dapur dan 2 buah kamar mandi.

Situs Banua Oge / Souraja




 







Bangunan Banua oge atau Souraja terletak di Kelurahan lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Madya Palu, Propinsi Sulawesi Tengah. Jarak dari pusat Kota  kurang lebih dua kilometer kearah barat.
Latar Belakang Sejarah
Pembangunan Banua oge atau Souraja atas prakarsa raja Yodjokodi pada sekitar abad 19 masehi. Souraja berfungsi ganda, yaitu sebagai tempat tinggal keluarga raja dan juga sebagai tempat pusat pemerintahan kerajaan
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang di Palu antara tahun 1942 – 1945, bangunan Souraja diambil alih dijadikan kantor pemerintahahan selama masa pendudukan. Kemudian pada Tahun 1958, souraja digunakan oleh tentara Nasional Indonesia sebagai asrama tentara dalam kegiatan operasi penumpasan pemberontakan PERMESTA di Sulawesi Tengah.Deskripsi Bangunan
Bangunan Banua oge atau Souraja adalah bangunan yang berpanggung memakai konstruksi kayu dengan paduan arsitektur bugis dan kaili. Luas keseluruhan semua  bangunan Banua oge adalah 32 X 11,5 meter. Tiang pada bangunan induk berjumlah 28 buah dan pada bagian dapur berjumlah 8 buah, adapun bagian bagian bangunan terdiri

Bangunan induk
Berukuran 11,5 X 24,30 meter. Yang terbagi atas empat bagian, yaitu :
a.Gandaria (Serambi )
Berfungsi sebagai ruang tunggu untuk tamu. Dibagian depan terdapat anjungan tempat bertumpunya tangga yang diletakkan pada bagian kiri dan kanan dalam posisi saling berhadapan jumlah anak tangganya 9 buah.

b.Lonta Karavana ( Ruang depan )
Ruangan ini digunakan sebagai tempat menerima tamu kaum laki-laki dalam pelaksanaan upacara adat. Selain itu juga digunakan sebagai tempat tidur kaum laki-laki

c.Lonta Tatangana ( ruang Tengah )
Berfungsi sebagai tempat musyawarah raja bersama dewan adat. Pada ruangan ini terdapat dua buah kamar tidur untuk raja.

d.Lonta Rarana( ruang belakang )
Bagian ini digunakan sebagai ruang makan keluarga raja. Pada bagian ini terdapat kamar khusus untuk kaum wanita dan anak gadis. Selain itu juga digunakan untuk menerima kerabat dekat.

Ruang antara bangunan induk dan dapur
Ruangan ini berukuran 11,5 X 6 meter dan tidak memakai atap, Fungsinya sebagai tempat istirahat. Dibagian lain terdapat sebagai kamar mandi /wc dan sebagai gudang. Pada sisi kanan terdapat sebuah tangga.

Ruang Dapur
Ruang dapur berukuran 11,5 X 3,7 meter, yang terdiri dari ruang untuk memasak dan ruang makan .
Dalam lokasi situs banua Oge terdapat pula bangunan Gampiri yang berukuran 3 X 6 meter. Gampiri berfungsi untuk menyimpan bahan pangan seperti padi dan jagung.
Beberapa persamaan banua Oge dan bentuk rumah panggung di Sulawesi Selatan adalah ;
- Bubungan atap dengan bentuk pelana, hanya pada banua Oge dibuat bertingkat pada ventilasi udara ke ruang loteng
- Tangga depan berjumlah dua buah yang diletakkan pada bagian kiri dan kanan, dengan jumlah tangga selalu ganjil ( 7, 9, 11 )
- Tiang – tiang ditusuk dengan balok pipih hanya dari bagian depan.
Keunikannya dari bangunan bangunan Banua oge atau Souraja adalah kekuatan bangunan hanya bertumpu pada hubungan balok blandar dengan papan lantai. Kemudian tiang ditanam kedalam tanah sedalam kurang lebih 1 meter dan ujungnya ditusuk dengan balok bersilang yang berfungsi sebagai akur.
Pola hias pada Bangunan Banua oge adalah pola hias sulur daun, tumpu, geometris, belah ketupat, tali dan kaligrafi huruf arab. Pola hias tersebut dapat dilihat pada bagian pintu, jendela, gantungan lampu dan papan lisplank.

Masjid Tua Una - Una













Masjid Tua Una Una ini pertama kali dibangun pada tahun 1909 atas prakarsa masyarakat yang mendiami pulau tersebut serta didukung oleh Raja setempat yang bernama Mohammad Maradjeng Daeng Materru. Pekerjaan pembangunan masjid tersebut dikepalai seorang tukang bernama Ibu De Bula dan selesai di bangun Tahun 1914. Bahan bangunan Masjid ini didatangkan dari Pulau Kalimantan dan Jawa. Masjid ini telah di renovasi pertama kali pada Tahun 1962. Peresmian masjid ini dilakukan pada Tahun 1916 oleh Bapak HOS Tjokroaminoto. Pada Tahun 2005 Masjid Tua Unauna sebagai Cagar Budaya, telah dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar.

Masjid Tua Bungku
















Masjid tua Bungku didirikan atas prakarsa raja Bungku XII yaitu Kacili Muhammad Baba pada Tahun 1835 – 1836. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh tokoh penyiar Islam Syech maulana atau yang bergelar Bajo Johar dari tanah melayu. Masjid Tua Bungku ini pertama kali di pugar oleh seorang arsitektur Bangsa Cina bernama Aweng pada Tahun 1936 – 1937, dan kemudian dipugar oleh Pemerintah / Kanwil ¬Depdikbud Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1992 – 1993.
Luas Bangunan Masjid 15 x 24 meter terletak diatas sebidang tanah dengan luas 40 x 72 meter dengan arsitektur atap bersusun Lima.

Situs Cagar Budaya Makam Dato Karama



 










Situs makam Dato Karama adalah tempat di makamkannya seorang tokoh Agama Islam yang pertama kali masuk ke Sulawesi Tengah pada abad XVII. Dato Karama adalah gelar yang berarti seorang dato yang sakti/keramat. Sedang nama asli beliau adalah Abdullah Raqie berasal dari Sumatera Barat. Karena kesaktiannya maka Raja Kabonena I Pue Njidi serta rakyatnya memeluk Agama Islam.
Isteri Dato Karama bernama Intje Djille sedangkan anaknya bernama Intje Dongko dan Intje Saribanong, Injte Dongko kawin dengan pemuda dari Sulawesi Selatan.
Pada kompleks Makam Datokarama selain makam beliau juga terdapat makam isterinya dan keluarga serta pengikutnya yang terdiri dari 9 (sembilan) makam laki-laki, dan 11 (sebelas) makam wanita serta 2(dua) makam yang tidak jelas, karena nisannya juga tidak jelas. Dengan luas bangunan ± 104 M² sedang luas keseluruhan Situs makam Dato Karama ± 1700 M²

Rumah Tradisional Tambi


















Letak Situs
Rumah tradisional tambi terletak di desa Doda, kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah. Jarak tempuh kurang lebih 168 kilometer dari Palu. Salah satu hambatan untuk mencapai situs adalah keadaan jalan yang kurang terawat, sehingga membutuhkan waktu agak lama.
Latar Belakan Sejarah
Salah satu ciri khas perkembangan tradisional di Indonesia adalah penduduknya yang mendiami rumah-rumah panggung beratap rumbia, bambu, dan ijuk. Namun rumah bentuk itu sudah jarang dijumpai. Demikian pula di Kecamatan Lorre utara, rumah Tradisional Tambi tinggi salah atunya terdapat di Doda sekarang ini
Bangunan Tambi didirikan pada Tahun 1867 oleh Langimpu pada itu memangku jabatan sebagai Bitu Magau (Kepala Distrik). Pada tahun 1928 langimpu wafat,  dan bangunan Tambi diwariskan kepada Istrinya yaitu Inana Masina sampai tahun1942 kemudian dari tahun 1942 – 1982, Tambi dihuni oleh anak Langimpu yaitu Inana Inene. Setelah itu Tambi tidak dihuni lagi, akan tetapi dirawat oleh cucumya Langimpu yang bernama Inana Benu. Karena kondisi tambi semakin rusak karena dimakan usia, maka atas nama ahli waris dan masyarakat Doda pada tanggal 21 Juli 1993 bangunan Tambi diserahkan oleh Kepala Desa Doda kepada pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaanuntuk ditangani.
Deskripsi Rumah Tadisional Tambi
Tambi adalah bangunan dengan konstruksi rumah panggung (berkolong), memiliki daerah persegi panjang. Ukuran bangunan adalah lebar 5 meter panjang 7 meter, serta tinggi bangunan 6,20 meter
Salah satu keunikan tambi adalah konstruksi dasarnya. Kayu yang digunakan pada konstruksi dasarnya dipilih betul-betul kering dan lurus, sehingga tejadinya penyimpanan berat dapat dihindari. Semua tiang panggung yang difungsikan sebagai penopang lantai berbentuk bulat tanpa pola hias.

Kaledo-Makanan Khas Palu


Jangan mengaku pernah menginjakkan kaki di Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu, jika Anda belum mencicipi kaledo. Masakan khas Sulawesi Tengah ini termasuk jenis masakan berkuah bening agak kekuning-kuningan dengan rasa yang sangat khas, yakni asem gurih dan pedas. Pada awalnya, masakan ini hanya berbahan baku tulang kaki sapi dengan sedikit dagingnya. Namun, karena penjual kaledo semakin banyak, sehingga tulang kaki sapi semakin sulit didapatkan. Untuk menggantikan tulang kaki tersebut, maka tulang belakang sapi pun disertakan sebagai tambahan bahan utama.

Tidak ada catatan resmi mengenai asal-usul makanan ini. Menurut cerita, konon di wilayah Sulawesi Tengah, ada seorang dermawan yang memotong sapi dan membagi-membagikannya kepada penduduk sekitar. Orang Jawa yang pertama datang mendapat daging sapi yang empuk dan kemudian dibuat bakso. Orang Makassar yang datang berikutnya mendapat bagian jeroan (isi perut), kemudian dimasak coto Makassar. Sementara orang Kaili (suku asli Donggala) yang datang belakangan hanya memperoleh tulang-tulang kaki. Oleh karena tidak ingin mengecewakan keluarganya yang menunggu di rumah, maka tulang-tulang dengan sedikit daging yang masih menempel pun dibawanya pulang ke rumah sebagai obat kecewa. Tulang-tulang tersebut kemudian mereka masak dan jadilah kaledo.

Kaledo banyak dihidangkan oleh masyarakat Sulawesi Tengah pada saat hari lebaran (Idul Fitri maupun Idul Adha) yang disajikan dengan burasa (beras diberi air santan dan dibungkus daun pisang, lalu direbus). Selain itu, makanan khas ini juga sangat cocok disantap bersama nasih putih, singkong atau jagung rebus. Bagi yang mengidap tekanan darah tinggi dan asam urat, sebaiknya lebih berhati-hati. Jangan sampai makan kaledo melebihi porsi yang semestinya.

B. Keistimewaan

Kekhasan kaledo ini terletak pada penggunaan bumbu asam Jawa. Asam Jawa yang digunakan adalah asam yang betul-betul masih muda. Untuk memperoleh konsentrat asam, kulit asam muda digerus bersama dagingnya. Jika menggunakan asam yang sudah tua, kuah kaledo tersebut akan berwarna kuning dan rasanya cenderung lebih manis.

Selain itu, masakan kaledo ini menjadi khas, karena bumbu pelengkapnya, seperti: bawang goreng khas Palu (renyah, tidak mudah lembek, dan tahan lama), sambal, dan jeruk nipis. Bagi mereka yang suka pedas, dapat menambahkan sambal yang sudah ditumbuk kasar. Sedangkan bagi yang suka kecut, dapat menambahkan perasan jeruk nipis.

Sebenarnya, yang menarik dari makanan ini, yaitu pada cara makannya. Daging yang menempel di tulang dan sumsum yang terdapat di dalam rongga tulang tersebut sangat lezat untuk dinikmati. Oleh karena itu, Anda jangan terkejut dan heran ketika melihat cara penyajian masakan yang satu ini. Biasanya disediakan garpu, pisau, sumpit ataupun pipet, yang berfungsi untuk mengeluarkan sumsum dari rongga-rongga tulang sapi tersebut.

C. Lokasi

Makanan khas Palu ini merupakan menu utama warung-warung makan di Sulawesi Tengah. Ada beberapa warung makan yang khusus menyajikan makanan ini, seperti warung makan yang berlokasi di ruas Jalan Diponegoro, Kota Palu; di depan pintu masuk Wisata Pantai Tumbelaka (3 km dari Kota Palu); dan di depan Masjid Baabus Salaam, Loliege, Jl. Raya Palu – Donggala (3 km dari Kota Palu). Selain di Kota Palu dan Donggala, makanan ini juga dapat dinikmati di warung-warung makan di Kabupaten Poso. Untuk menjangaku warung-warung tersebut, para wisatawan dapat menumpang angkutan kota berupa bus kota, taksi dan ojek.
D. Harga

Harga kaledo berkisar antara Rp. 25.000,00 – Rp. 30.000,00 perporsi.

Molumu / Persemayaman Jenazah

Rabu, 02 Maret 2011


Upacara ini dijumpai dalam lingkungan keluarga raja atau bangsawan pada zaman dahulu, khususnya bagi yang menjabat kekuasaan dalam pemerintahan sebagai Magau. Molumu ialah masa menyemayamkan jenazah, di mana mayat disimpan dalam peti kayu yang tertutup rapi. Molumu berarti menyimpan mayat-mayat dalam peti (lumu, peti mayat) yang dibuat dari yang sudah nigala-gala (diberi alat perekat dan penutup setiap lubang dan pertemuan papan peti mayat tersebut dengan alat perekat). Maksudnya agar bau busuk dari mayat dalam peti itu tidak tercium, karena mayat yang dipetikan (nilumu) tidak dibalsem atau dimumikan.
Maksud dan tujuan upacara molumu tersebut ialah agar roh si mayat tersebut beristirahat dengan tenang, di tengah-tengah keluarga sebelum ia dikuburkan, di samping menunggu para Tadulako membawa hasil sesembahannya berupa kepala manusia yang dicarinya di luar kerajaan. Mendapatkan kepala manusia dengan jalan mengayau (nangae) adalah salah satu kegiatan dan merupakan salah satu perlengkapan dalam upacara penguburan para raja-raja zaman dulu. Kegiatan tersebut Nangae (mengayau).
Penyelenggara Teknis Upacara
  1. Para tukang kayu bertugas membuat Jumu (peti jenazah) yang dibuat dari kayu pohon kapuk yang utuh secara gotong royong
  2. Ketua dan anggota dewan Hadat, bertugas memimpin penyelenggaraan permandian jenazah, memasukkan jenazah ke dalam peti jenazah, dan selama jenazah disemayamkan
  3. Topovara yaitu orang mengipas jenazah yang disemayamkan dalam peti jenazah, masih berjumlah 14 orang dari keluarga perempuan dewasa
  4. Topotinti gimba (pemukul gendang) terdiri dari ketua/anggota dewan adat, orang-orang tertentu yang diberi tugas khusus untuk itu dan Tadulako. Tadulako ialah hulubalang raja yang bertugas mengawal dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta petugas khusus yang melakukan tugas pengayanon sebagai salah satu tuntutan upacara adat
  5. Topotanginjaka ialah orang tertentu yang disiapkan khusus untuk mengisi mayat. Umumnya dari keluarga ibu yang ahli dan mampu mengungkapkan kata-kata yang mengundang rasa haru dan sedih bagi yang mengikutinya
  6. Topotinti gimba ialah petugas yang memukul gendang selama masa tertentu, mulai dari saat kematian sampai selesai penguburan
  7. Kayumpayu (tiang payung), yaitu orang yang bertugas memasang, menjaga dan memegang payung, selama upacara kematian berlangsung, baik pada masa molumu, dan pada saat mengantar jenazah ke kubur
  8. Tadulako, ialah para hulubalang kerajaan yang bertugas memukul gendang di kuburan, dan melakukan tugas penganon.
Pihak-pihak yang terlibat
Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara molumu dan movara tersebut terdiri dari: Seluruh anggota keluarga, ketua-ketua dewan adat, kerajaan dan pejabat eksekutif kerajaan, Tadulako (pengawal raja/kerajaan), dan anggota masyarakat pada umumnya.
Tugas-tugas mereka di samping melakukan tugas-tugas seperti yang disebutkan di atas, juga membantu keluarga dalam melayani tamu-tamu yang datang selama masa molumu/movara tersebut seperti memasak, juga ikut hadir untuk menyatakan rasa duka, di samping membawa pekasivia (bantuan berupa makanan, atau keperluan-keperluan konsumsi lainnya selama masa berkabung tersebut).
Tempat upacara molumu dan movara tersebut di dalam rumah kediaman raja atau di rumah adat kerajaan yaitu Baruga atau Bantaya, sesuai keputusan Libutotua nungapa (musyawarah orang tua adat).
Perlengkapan Upacara
Selama masa molumu dipersiapkan berbagai macam perlengkapan upacara, baik yang digunakan pada masa molumu atau perlengkapan-perlengkapan lain yang digunakan selama masa tersebut.
Perlengkapan selama upacara molumu ialah: peti mayat (lumu); kipas (vara); dekorasi, semacam janur yang dibuat dari daun pandan dan bunga kemboja, yang dijadikan penghias lumu (peti mayat) serta mayang pinang dan daun-daun kelapa. Perlengkapan lainnya ialah : ula-ula, jajaka, gimba (gendang), pekabalu (kain pengikat kepala), kepala manusia, dan payung.
Ula-ula ialah dua pasang orang-orangan yang dibuat dari kain berwarna kuning tanpa kepala. Keduanya dipasang pada dua tiang di depan rumah pintu pagar masuk seperti bendera, yang memasang ula-ula tersebut, ialah orang tua adat, melalui suatu upacara tertentu. (Ula-ula adalah simbol kebangsawanan. Sebab yang berhak memasang ula-ula dalam setiap pesta upacara adat hanya keluarga bangsawan saja).
Payung disiapkan 2 buah dan dipasang terbuka di samping ula-ula yang senantiasa siap dijaga oleh seorang petugas yang disebut kayu mpayu (tiang payung), petugas ini adalah anggota raja/bangsawan yang meninggal tersebut. Payung tersebut pada bagian atasnya dilapis dengan kain putih, dan dililitkan di atas puncak payung tersebut.
Jalannya Upacara
Jalannya upacara molumu selama masa (menyemayamkan jenazah dalam peti) tersebut terdiri dari beberapa kegiatan.
Pertama, ialah membuat lumu (peti mayat) yang dibuat dari pohon kapuk. Bagian atasnya dibuat dalam bentuk piramida dan pada sisi sekeliling lumu tersebut dihiasi dengan daun pandan dan bunga kemboja. Lumu tersebut dibuat oleh para tukang secara gotong-royong, dalam waktu satu hari sejak raja meninggal. Jenazah tersebut kemudian disimpan dalam peti (nilumu) pada hari kedua yang disaksikan oleh seluruh keluarga.
Para ketua dewan hadat kampung bermusyawarah untuk menentukan dimana jenazah tersebut disemayamkan di antara dua alternatif yaitu di rumah kediaman atau di rumah adat yang disebut Baruga atau Bantaya. Selama jenazah tersebut disemayamkan, baik sebelum dan sesudah dimasukkan dalam peti, sepanjang siang dan malam diadakan upacara movara, sebagai salah satu rangkaian upacara molumu.
Movara ialah upacara pengawalan jenazah oleh sejumlah 14 orang (ruampapitu) yang semuanya kaum wanita. Mereka duduk di samping kiri-kanan lumu masing-masing 6 orang, dan pada bagian kepala dan kaki lumu masing-masing 1 orang sambil mengipas dengan vara (kipas) yang dibuat dari kain putih dalam bentuk bundar telur. Maksud dan fungsi movara, pengipasan jenazah sebelum dan sesudah nilumu selain sebagai simbol dari suatu masa peristirahatan roh menanti saat penguburan, sekaligus sebagai simbol kebesaran upacara bagi para raja/bangsawan. Juga masa menunggu persiapan perlengkapan upacara penguburan yaitu kepala manusia.
Pelaksanaan teknis upacara disebut topovara. Topovara (orang-orang yang bertugas mengipas jenazah) melakukan tugas secara bergantian, baik pada siang atau malam hari, selama masa nolumu atau sebelum jenazah dikuburkan. Mereka disebut kayu nuvara, artinya turunan dari orang-orang yang sejak dulu diberi tugas untuk itu. Upacara itu dikoordinir olen togura nungapa. Posisi duduk mengitari lumu tersebut yang diatur oleh adat. Bila yang meninggal tersebut seorang raja atau bangsawan, yang duduk pada bagian kepala jenazah adalah keturunan dari keluarga orang tua adat, sedang bila orang tua-tua adat meninggal dunia, yang duduk pada bagian kepala adalah anak-anak keluarga bangsawan.
Tata cara pengipasan dari dua kelompok yang berbeda di sebelah kiri kanan Lumu tersebut-diatur berlawanan. Bila kelompok 6 orang sebelah kanan mengayun kipasnya ke kiri, maka kelompok 6 orang sebelah kiri mengayun kipasnya ke kanan. Demikian pula orang yang di kaki dan kepala status sosial antara yang duduk di bagian kepala dan kaki harus berbeda, yang duduk pada bagian kaki (Riayalaya) adalah orang biasa (To dea), sedang yang duduk di bagian kepala harus orang bangsawan.
Setiap topovara masing-masing membawa vara dari rumahnya sendiri, di samping ada vara petombongi (vara sumbangan) dari hampir semua anggota keluarga atau orang tua adat yang berasal dari luar kampung. Topovara datang dengan sukarela dan dikoordinir oleh Ketua Adat. Masa movara ini berlangsung maksimal 40 hari 40 malam, yaitu selama masa molumu, kecuali bila kepala manusia hasil pengayauan lebih cepat tersedia/didapatkan oleh para Tadulako, maka masa movara atau molumu ini dapat dipersingkat, atas mufakat libu (musyawarah dewan adat).
Salah satu acara yang penting ialah upacara Mentanginjaka, yaitu suatu upacara menangisi mayat dengan cara nompejala yaitu mengungkapkan kesedihan, rasa keharuan, dengan kata-kata yang isinya melukiskan kebaikan-kebaikan pribadi yang ditangisi, seakan-akan mereka belum patut ditinggalkan dan sebagainya. Orang yang diberi tugas tersebut ialah seorang tua perempuan yang dianggap ahli mengungkapkan suara hati masyarakat dengan tutur kata yang penuh kesedihan. Acara ini berlangsung pada siang atau malam hari, selama masa molumu/movara tersebut, sampai pada saat-saat jenazah/lumu tersebut telah siap diangkat ke kubur, yaitu pada saat orang-orang banyak berkumpul, atas permintaan Ketua dewan Hadat, dan menjelang mengantar jenazah ke kuburan. Maksud upacara ini ialah menggugah perasaan haru, dan menimbulkan perasaan berkabung atau berduka cita bagi masyarakat pada umumnya, dan menbangkitkan rasa simpati dan solidaritas dalam upaya mensukseskan upacara kebesaran raja tersebut di saat ditimpa musibah dengan sifat gotong-royong.
Upacara lainnya ialah pamasangan Ula-ula (mompepeoko ula-ula) disertai pula dengan persiapan perlengkapan upacara lainnya yang disebut jalaka. Jalaka ialah seperangkat benda-benda tertentu, yang terdiri dari kepala 1 buah, benang kapas 10 gulung, pisang 1 sisir, 1/2 liter beras, yang diletakkan di atas sebuah bakul yang disebut pada. Jajaka ini disimpan di bawah 2 tiang ula-ula yang dipasang di halaman depan rumah, di pintu pagar rumah orang yang kematian tersebut. Di samping ula-ula tersebut dipasang pula 2 buah payung yang diberi lapis kain putih pada bagian atas kedua payung tersebut yang dijaga oleh kayu mpayu. Waktu pemasangan ula-ula tersebut pada pagi hari bila yang meninggal pada malam hari, dan atau saat sesudah orang meninggal bila pada siang hari. Ula-ula tersebut dipasang baik siang maupun malam hari selama upacara adat kematian belum selesai. Ula-ula adalah simbol kebangsawanan.
Gendang atau gimba dipersiapkan 3 buah yang ditempatkan pada 3 buah tempat yaitu di rumah kematian, di rumah Ketua Dewan Hadat (to tua nuada), dan di pekuburan (ridayo). Selama masa molumu atau movara tersebut ketiga gendang tersebut ditabuh sepanjang hari baik siang maupun malam dijaga oleh petugas khusus. Gendang yang pertama kali ditabuh ialah yang ada di rumah kematian, dimulai oleh orang tua hadat, dan kemudian diserahkan kepada Tadulako atau todea (masyarakat umum). Namun gendang di pekuburan sepenuhnya tugas para Tadulako, di sini terkandung maksud bahwa petugas-petugas di sinilah yang diberi tugas mengayau (nangae). Mereka memakai pengikat kepala selebar destar dari kain putih. Upacara mengikat kepala tersebut disebut nekabalu, sedang alat penutup kepala tersebut disebut pekabalu. Pakaian tersebut mengandung makna tersendiri, yaitu selama mereka masih mekabalu, sekalipun raja sudah dikebumikan, mengisyaratkan bahwa tugas mereka.mengayau belum berhasil dan masih terus berjalan. Mereka beranggapan bahwa pengabdian mereka terhadap raja dan kerajaan belum selesai, dan masih terus diminta oleh adat kerajaan.
Bila batas waktu 40 hari selesai, dan sedikit kemungkinan untuk mendapatkan kepala manusia di luar lingkungan kerajaan, maka penggantinya adalah kepala seorang budak sahaya atau budak turunan yang disebut batua nggutu. Rangkaian kegiatan upacara tersebut di atas bukan menggambarkan tahap-tahap upacara melainkan suatu rangkaian kegiatan upacara yang dilaksanakan selama masa persemayaman jenazah yaitu sejak nienghembuskan napas terakhir sampai menjelang upacara penguburan.
Pantangan-pantangan yang berlaku selam jenazah disemayamkan, yaitu:
  1. Pantang memasak/membuat minyak kelapa dalam rumah dan harus memasak di tanah sebab bau minyak kelapa dapat mengganggu jenazah di dalam peti mayat yang disimpan dalam rumah atau Baruga/Bantaya.
  2. Pantang membuat dan memasak sayur nangka (ganaga) dalam rumah ketuarga si mayat karena selalu mogana dalam arti selalu ada orang yang meninggal dalam kampung itu. Pantang membuat sayur nangka karena nama mogana identik dengan nama nangko dalam bahasa Kaili, yaitu ganaga sama dengan kata gana.
  3. Pantang memasak sayur kelor bagi seluruh warga desa selama masa jenazab disemayamkan karena mengakibatkan banyak orang yang meninggal dunia, selalu gugur seperti daun kelor. Daun kelor yang sudah dipetik, mudah layu dan gugur, terpisah dari tangkainya, suatu sifat yang ditakuti bila manusia mengalami keadaan yang demikian.
  4. Masyarakat umum pantang menggoreng sesuatu dalam rumah dan harus di tanah karena dapat mengganggu jenazah.
  5. Pantang bagi masyarakat desa tersebut menenun kain dalam rumah karena menggangu rob jenazah selama disemayamkan.
Upacara yang telah hilang ialah upacara Molumu dan Mangae. Molumu dan Mangae dua kegiatan yang sangat berkaitan. Molumu dalam arti menyemayamkan jenazah dalam peti dalam waktu yang cukup lama, maksudnya memberi kesempatan kepada Tadulako untuk mengayau (mangae) mencari kepala manusia. Lama tidaknya jenazah disemayamkan bergantung cepat tidaknya kepala manusia itu didapatkan oleh Tadulako. Hal ini hanya berlaku bagi raja yang memegang tampuk kekuasaan. Penganut agama (Islam) dan perubahan stratifikasi sosial dalam masyarakat mendesak hilangya upacara ini sejak zaman Belanda menjelang masa kemerdekaan.
Upacara lainnya hingga sekarang ini masih tetap terpelihara ialah Movara sekalipun waktunya terbatas, yaitu sejak seseorang meninggal sampai sebelum jenazah diantar ke kubur.
Perbedaan-perbedaan yang prinsipil dalam upacara kematian antara raja dan bangsawan antara lain: bagi raja (yang memegang tampuk kekuasaan) pada zaman dulu, adalah : Upacara Molumu (menyemayamkan jenazah di dalam peti) sedang kaum bangsawan tidak; lamanya jenazah disemayamkan cukup lama, sedangkan kaum bangsawan lebih singkat, sama dengan orang biasa (1 sampai 2 hari saja) tanpa peti jenazah; memerlukan kepala manusia untuk dikuburkan bersama raja dari hasil pengayauan, sedangkan bangsawan tidak; raja dikuburkan dengan peti jenazah, sedangkan bangsawan tidak memakai dindingari (papan lebar segi empat panjang penutup liang lahat) seperti todea (orang banyak), tetapi mereka menggunakan penutup liang lahat bersegi tiga dari papan.

Motahalele


Motahalele adalah suatu upacara pembacaan tahlil, yang dilakukan sesudah pulang dari upacara pernikahan di rumah kediaman orang yang meninggal. Dan seterusnya upacara ini dilakukan pada hari ketiga, hari ketujuh (sampai pitu), hari ke 14 (ruampapitu), hari ke-20, hari ke-30, hari ke-40, hari ke-50 dan hari yang ke-100. Upacara pada hari-hari yang telah ditentukan di atas disebut upacara mogana.
Selama malam berturut-turut diadakan pembacaan tahlil/doa, dan dilanjutkan dengan pangajian Al Qur’an, sampai tamat pembacaan Al Quran tersebut berlangsung selama 40 hari berturut-turut. Pengajian ini diikuti oleh siapa saja, yang dapat membaca Al Qur’an dengan baik dan benar. Upacara mogana adalah suatu upacara pembacaan tahlil, dalam satu pesta besar, karena adanya penyembelihan hewan yaitu sapi/kerbau, sedang upacara pembacaan tahlil pada malam hari, cukup dengan makanan-makanan ringan.
Maksud dan Tujuan Upacara
  1. Roh yang meninggal tersebut mendapat ketenangan dalam kubur
  2. Menambah pahala dari doa orang-orang yang hidup
  3. Dapat selamat dan masuk ke dalam surga
Sedang upacara mogana pada hari-hari yang ditentukan menurut adat tersebut ialah:
  1. Agar roh si mayat tidak kembali ke alam fana (Reingkarnasi).
  2. Selalu mendapat kiriman doa keselamatan dari orang-orang yang hidup yang datang mendoakannya.
Penyelenggara Teknis. Penyelenggara teknis upacara tersebut ialah pegawai syara, guru-guru atau orang-orang yang pandai mengaji.
Pihak-pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat ialah hampir seluruh keluarga yang dekat maupun yang jauh, yang datang sendiri atau yang diundang khusus untuk menghadiri upacara Mogana baik turut serta dalam upacara Motahalele atau mengaii ataupun ikut membantu penyelungsuran upacara tersebut.
Perlengkapan Upacara. Perlengkapan-perlengkapan upacara tahlilan yang berlangsung selama 7 malam ialah:
  1. Batara, yaitu tempat tidur dengan sebagian pakaian dari si mati, yang disiapkan di tempat jenazah pada saat disemayamkan, sebagai simbol bahwa yang meninggal tersebut seakan-akan masih ada dalam lingkungan mereka.
  2. Al Qur’an, yaitu kitab suci umat Islam dalam jumlah yang cukup, untuk dibaca oleh sejumlah orang, yang dilakukan pada minggu kedua sampai hari ke-40.
  3. Makanan ringan, yang disajikan sesudah pembacaan tahlil oleh sejumlah orang yang hadir.
Jalannya Upacara. Jalannya upacara tahlilan dan upacara Mogana tersebut berturut-turut dilaksanakan:
  1. Pembacaan tahlil sesudah pulang dari pemakaman, di rumah orang kematian setelah didahului dengan upacara tahlilan diadakan upacara makam, sebab pada hari-hari menjelang pemakaman diadakan pula penyembelihan sapi/kerbau, untuk memberi makan seluruh peserta yang ikut dalam, upacara pemakaman tersebut.
  2. Pembacaan tahlil pada malam hari selama 7 malam berturut-turut, dan diteruskan dengan pengajian Al Qur’an.
  3. Pada hari ke-3 clan ke-7, diadakan pula pesta pembacaan doa pada siang hari dengan penyembelihan sapi atau kerbau. Namun pengajian-pengajian Al Qur’an terus berjalan sampai malam ke-40 tanpa pembacaan tahlil. Pembacaan tahlil diadakan pada siang hari yaitu pada hari ke-14, hari ke-20, hari ke-30 dan hari ke-40, sebagai rangkaian upacara Mogana, dengan pesta besar. Sesudah hari ke-40, selesailah upacara pada malam hari, dan diteruskan dengan upacara mogana pada hari ke-50 dan seterusnya sampai hari ke-100 dengan pesta upacara. Hari ke-100 adalah penutup, dari upacara tahlilan.
  4. Dahulu sesudah selesai Mangaji, masih ada suatu acara yang di sebut mosikiri simpa yang diadakan hanya sampai pada hari ke-3 saja, setelah selesai mosikiri simpa (Zikir yang syairnya diambil dari Kitab Berzanji) dilagukan menurut langgam lagu daerah, sehingga. tidak nampak lagu dan lafaz bahasa Arabnya, seperti yang direkam dalam pita penelitian ini. Misikiri simpa tersebut dihapalkan dengan baik, dan merupakan Sastra Suci, dilagukan secara koor oleh sejumlah orang-orang tertentu. Orang-orang yang ahli untuk itu hingga sekarang, sudah sangat langka dijumpai di lokasi. Tujuan upacara ini ialah menanamkan rasa khidmat, rasa keharuan, serta doa dan harapan agar roh si mayat, dapat menjadi tenang menghadap Tuhannya. Mengingatkan bahwa semua orang akan mati, harus bersiap-siap menghadapinya dengan cara berbuat baik menjauhi perbuatan dosa. Penyelenggara teknis upacara tersebut ialah orang-orang tua yang ahli dan menghapalkan zikir tersebut dengan lagu yang baik.
  5. Mokaiyori. Upacara mokaiyori adalah upacara melagukan syair-syair tertentu, yang dilaksanakan dalam setiap upacara adat, seperti pada upacara sukuran, seperti selamatan panen padi, memenuhi nazar seseorang atau masyarakat, atau upacara daur hidup. Seperti novatiaka toniasa (upacara adat bagi seseorang yang memiliki hak adat tertentu sesuai status sosialnya) dalam upacara nokeso (upacara menggosok gigi dan sebagainya) termasuk upacara kematian. Karena itu syair-syair Kayori ada bermacam-macam, ada Kayori posimpokono (kayori percintaan), Kayopi peduta (Kayori peminangan). Karyori dalam situasi mengangkat perang, dan membuat perdamaian, dilakukan oleh para diplomat atau wakil-wakil dari mereka yang terlibat dalam perang atau perdamaian. Kayori yang disebutkan terakhir tidak dilagukan. Mokayori sebagai salah satu ciri khas kesenian tradisional di Kecamatan Sindue yang masih melembaga dalam masyarakat. Maksud dan Tujuan Mokayori
Dahulu Kayori digunakan sebagai alat komunikasi antara dua kelopkok atau dua pihak yang ingin saling menyatakan keinginan atau harapan-harapan baik untuk tujuan-tujuan yang baik atau yang negatif, seperti untuk mengatakan hasrat keinginan untuk mempersunting seorang gadis, pernyataan keinginan rakyat kepada raja, atau alat komunikasi untuk menghubungkan antara dua pihak yang ingin mengadakan hubungan baik tersebut.
Dalam upacara kematian mokayori tujuannya selain untuk maksud hiburan bagi keluarga, juga sesuai isi Kayori juga menyatakan hasrat, keinginan dan harapan-harapan dari masyarakat, agar raja yang bakal menggantikan raja yang meninggal harus lebih baik dalam melakukan tugas pemerintahan dari asal keturunan raja sendiri, dengan cara pemilihan yang tepat dan sebagainya. Syair lagu-lagu Kayori ini cukup banyak dan dihapalkan di luar kepala, dan disajikan sesuai maksud dan tujuan upacara adat.
Waktu Pelaksanaan
Mokayori ini diadakan pada malam hari setelah selesai upacara pemakaman, sebagai salah satu rangkaian dari upacara tahlilan (membaca tahlil), yang sifatnya lebih cenderung bersifat hiburan bagi keluarga raja, yaitu pada selesai rangkalan upacara mogana (membaca tahlil). Karena bersifat hiburan, penampilan mokayori ini, sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan keluarga yang memanggil sebagai selingan.
Penyelenggaraan Teknis
Penyelenggaraan teknis upacara ini dilakukan oleh seniman-seninan yang memiliki kemampuan mengungkapkan syair-syair tersebut dalam lagu-lagu tradisional yang terdiri dari laki-laki dan wanita. Mokayori dalam upacara kematian hanya berlaku di kalangan keluarga bangsawan dan raja-raja saja dan tidak diberlakukan dalam masyarakat luas.
Pihak-pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara tersebut ialah terbatas dalam lingkungan keluarga bangsawan saja dan yang hadir hanya para anggota dewan hadat.
Perlengkapan Upacara. Melaksanakan kegiatan ini tidak memerlukan perlengkapan upacara, sebab lagu Kayori tidak menggunakan instrumen. Tapi dilagukan secara vokal oleh sekelompok ahlinya. Perlengkapan yang disiapkan ialah ruangan, tikar tempat duduk Topokayori (orang yang menyanyikan syair Kayori tersebut) serta para anggota keluarga bangsawan dan ketua-ketua dewan hadat, serta makanan ringan.
Jalannya Upacara
Mokayori dalam upacara kematian ini, dilakukan setelah selesai membaca tahlil pada malam hari. Topokayori ini terdrii dari laki-laki dan wanita. Setelah mereka berkumpul dalam satu ruangan atau tempat terbuka yang ditentukan mereka diberikan acara Mokayori, kadang-lcadang sampai larut malam, dan kadang-kadang sampai siang.
Syair-syair yang mereka lagukan antara lain ialah beberapa bait saja, yang dilagukan berulang-ulang kali sebagai berikut :
  1. a. Sumila momberesala (Bismillah memberi salam) Mantabe tua ponggava (Menghonnat kepada pemimpin-pemimpin yang terhormat)
    b. Romumo nggatua ada (Telah berkumpul orang tua adat) Ne malinga ra tora ( Jangan lupakan dan ingat selalu, tora maksudnya teliti dengan baik calon pengganti raja)
  2. a. Kukunu kupekutana (Kutanya dan kutanyakan) Berimbamo pelinjana (Bagamana sudah situasi pergantiannya)
    b. Ane mala makamala (Kalau memang bisa dan patut) Kuligi pebeteana (Kucari dari asal-usul keturunan raja)
  3. a. Sei ratora-torata (Suatu hal yang kita selalu ingat) Live’i Datu Karama (Tindak tanduk Datu Karama, maksudnya pemimpin yang beragama)
    b. Ane pontode nuada (Kalau kehendak dan tuntutan adat) Meliupa pangejana (calon pengganti harus lebih baik caranya membimbing/memimpin masyarakat)
Cara melagukan kesenian Kayori ialah sebagai berikut:
  1. Para penyanyi duduk atau berdiri dan berbaris bertuntun dibawakan secara tari dalam gerak tertentu mengikuti irama lagu, di mana laki-laki dan wanita berpisah.
  2. Dari 3 bait syair tersebut masing-masing terdiri dari 4 baris, dilagukan dengan berulang-ulang, dengan menambah beberapa syair yang dikenal sebagai pembuka lagu.
  1. Bait pertama terdiri dari 4 untaian kata tersebut dapat dibagi 2 (dua). Bagian 1 baris 1 dan 2 disebut Vuyana (sarungnya) dan bagian II (baris 3 dan 4) disebut Kombana (isi). Pembuka lagu bait pertama ini berbunyi Vengi da vengi dan terus melagukan syair bait pertama dan sebagainya dan terus diulang-ulangi sebagai penutup (pompepusa) dari bait pertama tersebut ialah: Ane mavengimo tano (kalau memang malam telah tiba)
    Laventua ntopoada (memang demikian, menurut adatnya)
    Pada bait kedua pembuka lagunya berbunyi “dudu mpaku mantino” dan meneruskan lagu tiap bait tersebut dan selanjutnya ditutup dengan:
    Mantiro lele ngkorio (menyaksikan dari atas burung kuning)
    Mantande payu rilino (menada/memegang payung di dunia)
    Pada bait ketiga pembuka lagunya ialah:
    Rante da magonumo (rantai/pertalian yang tak urung lebur)
    Maipia dan magonu (kapan akan lebur)
    Rante pomboli olu (Rantai/pertalian penyimpan olu) Olu : adalah benda bertuah/benda sakti yang setiap dibuka akan pasti membawa akibat yang kurang baik.
  2. Setelah selesai melagukan syair-syair tersebut dengan berulang-ulang sampai puas, maka upacara kesenian ini berakhir, kadang-kadang sampai larut malam.
  1. Modoja-doja adalah acara malam bersantai menghibur keluarga yang berduka, setelah pengajian selesai, yang diisi dengan berbagai acara sampai larut malam, bahkan sampai siang. Peserta tidur secara bebas bergantian. Modoja-doja adalah situasi di rumah di mana orang-orang tidak boleh tidur secara keseluruhan, tapi sebagian harus ada yang terjaga (tidak tidur) sampai menjelang siang. Umumnya kesempatan ini digunakan oleh muda-mudi untuk mengisi acara muda-mudi.
  1. Acara tradisional yang mengisi acara malam itu antara lain:
    1. Mojalili (saling melemparkan dan menjawab teka-teki). Setiap orang bebas mengajukan teka-teki kepada siapa saja (pemuda/pemudi) setelah diminta kesediannya menjawab dan menyebutkan kepada siapa teka-teki itu ditujukan
    2. Movaino (sastra, muda-mudi), dalam mengungkapkan isi hati mereka dalam kata-kata yang mengandung makna tertentu, yang dapat dipahami/diterka. oleh siapa saja ungkapan itu ditujukan. Caranya ialah seseorang mengungkapkan kalimat pertama berupa sampiran, sedang lawan yang ditujukan mencari jawaban diisi yang relatif memiliki sajak yang sama dengan sampiran. Kalimat pertama sebagai sampiran (tanpa makna) seperti : Tubi nubotolo botomo, harus dijawab lawan dengan Ane mupokono sokomo.
    3. Mogalasa, adalah permainan rakyat yang menggunakan kayu yang diberi lubang, setiap lubang diisi dengan batu atau biji jagung. Jumlah lubang berkisar 7 sampai 9 buah lubang yang berpasangan dan satu lubang yang agak besar pada bagian ujung kiri dan kanan. Tiap lubang diisi dengan batu/jagung dalam jumlah yang sama. Permainan ini dimainkan oleh 2 orang baik laki-laki atau perempuan. Tujuan permainan tersebut ialah bagaimana cara menghabiskan batu yang berada pada lubang di depan lawannya masing-masing dengan peraturan-peraturan tertentu.
    Maksud dan tujuan acara modoja-doja ini ialah:
    1. Menghibur keluarga yang berduka
    2. Mengisi waktu luang, yang menurut adat pantang tidur seluruhnya, tanpa ada yang terjaga (bangun) sepanjang malam tersebut
    3. Memberi peluang bagi muda-mudi untuk saling berkomunikasi, bahkan kesempatan mencari jodoh, atau menyatakan cintanya melalui Vaino atau Silopo seperti yang diuraikan di atas
    Upacara ini sering dipimpin oleh orang tua, pada saat memulai acara tersebut, tetapi kemudian secara bebas muda-mudi saling menawarkan teka-teki, silopo atau vaino atau mogalasa dan sebagainya. Dan biasanya malam itu sudah ditunggu-tunggu oleh pemuda, sesudah pdra gadis selesai kesibukannya di dapur melayani. tamu. Acara ini umumnya adalah acara kaum muda-mudi.
    Waktu Mojalili dan mosilopo diadakan pada malam hari sejak selesai pemakaman sampai sebelum upacara motana bate. Sedang movaino dimulai pada malam ke-14 (ruampapitu) sampai seluruh upacara kematian selesai pada hari ke-100. Sedang mogalasa dapat berlangsung pada siang atau malam hari. Upacara tersebut masih terus berjalan hingga dewasa ini, hanya saja batas waktunya lebih.singkat, untuk hari 1sampai hari ke-7 saja.

Nantauraka Ngana


Pasa masa kelahiran dan masa bayi dijumpai beberapa upacara adat yang cukup sederhana, dalam arti pelaksanaan dan keanekaragaman perlengkapan. Pada masa ini upacara adat yang dilaksanakan ialah (1) Nompudu valaa mpuse, (2) Nanta Uraka ngana, (3) Nosaviraka ritora, dan (4)Nokoto/Nosombe bulua.
Upacara ini dilaksanakan setelah selesai upacara penanaman tembuni, yang dihadiri oleh keluarga-keluarga terdekat dan tetangga.
Maksud dan tujuan upacara
Upacara ini bertujuan agar sang bayi sudah dapat dengan bebas dibawa ke luar rumah oleh orang tua dan keluarga lainnya, serta jauh dari gangguan makluk halus, sebagai suatu langkah prefentif.
Waktu Pelaksaman Upacara
Upacara diadakan pada siang hari saat-saat matahari naik, mulai pagi sampai dengan sebelum matahari condong ke barat, maksudnya sebagai suatu isyarat (simbol) bahwa hidup masih terus meningkat dan merupakan suatu puncak kehidupan.
Tempat Pelaksanaan Upacara
Tempat dan pusat kegiatan dilakukan dalam rumah, halaman rumah, dan di rumah para tetangga sebagai suatu rangkaian upacara.
Penyelenggara Teknis Upacara
Upacara tersebut tetap diperankan oleh sando mpoana (dukun) dan sejumlah anggota keluarga yang khusus datang untuk upacara tersebut baik dipanggil maupun dengan sukarela.
Jalannya Upacara
Jalannya upacara ini ada 2 (dua) tahap, yaitu sebelum turun tanah dan turun tanah.
  • Nompesuvuki. Sebelum turun tanah ada pula vati mengadakan upacara nompesuvuki (membelah biji kelapa). Biji kelapa tersebut diambil langsung di atas pohon kelapa secara utuh, dan tidak boleh dijatuhkan ke tanah, tetapi diikat dengan cinde, yaitu sarung adat sebagai tali pengikat kelapa tersebut. Untuk menurunkannya dari atas pohon tersebut ditampung dengan satu alat yang disebut poloroa (suatu keranjang penyimpanan air/bobo) yang dibuat dari tempurung kelapa. Kemudian kelapa tersebut dihilangkan sabutnya dengan rapi agar dapat disatukan kembali seperti asalnya semula dan bijinya dijadikan bahan upacara tersebut. Pada waktu upacara bayi ditidurkan dalam keadaan telanjang di atas kedua belah kaki sang dukun, dan biji kelapa tersebut kemudian dibelah dan airnya membasahi sebagian tubuh sang bayi sambil diiringi dengan gane (mantera).
    • Aku mempesoki yodi (kalau yang di upacarakan bayi perempuan), yojo (kalau bayi laki-laki), ala rai madoyo, rai mambongo, mantaraka. Jarita ribanua loku ritana, nemo mantauraka jarita ri banua ritana, nemo mosikenika jarita”.
    • Aku belah biji kelapa agar sang bayi kelak tidak menjadi penjahat, tidak tuli, membawa ceritera dari rumah ke rumah, dari tanah ke rumah, dan tidak membawa ceritera yang mengadu domba.
Selesai mantera dibacakan, dukun menghitung: sangu, randua, tatalu — lalu membuang kelapa yang sudah terbelah dua itu ke belakang. Bila salah satu belahan kelapa tersebut tertutup, maka kedua belaban tersebut diambil lagi sampai kedua belahan kelapa tersebut terbuka. Hal ini merupakan simbol agar rezeki sang bayi kelak di kemudian hari selalu terbuka, hati selalu jujur, dan pikiran selalu terbuka untuk mencari kebahagian hidup. Kemudian isi kelapa tersebut dipisahkan dengan tempurungnya, lalu dikunyah dijadikan posobo (sampo) untuk bagian kepala sang bayi. Tempurungnya dibungkus kembali dengan sabutnya yang dibuat begitu rupa seperti kembali menjadi sebuah kelapa, diikat dan digantung di depan pintu rumah. Maksudnya agar terpelihara, jangan sampai terbakar, sebab kalau terbakar dapat mengakibatkan hal yang negatif bagi sang bayi seperti sakit-sakitan, kudisan, dan sebagainya.
Jalannya Upacara Turun Tanah
Upacara ini dilakukan setelah selesai upacara sebelum turun tanah, di mana kemudian bayi tersebut diberi pakaian (ni bado) untuk siap di bawa ke tanah oleh dukun. Di bawah tangga diletakkan sebuah kapak (vase) dan sehelai daun kamonji, pamanu, dan silaguri (bahasa daerah) yang akan diinjak oleh dukun yang membawa anak tersebut, dengan didampingi oleh orang-orang tua (nenek) dan keluarga lainnya sebagai pendukung upacara tersebut, Nenek-nenek itu membawa bahan makanan sirih (kapur, gambir dan sirih) di atas baki adat. Selesai upacara tersebut di halaman, bayi tersebut diantar dari rumah ke rumah sebanyak 7 rumah tangga sampai di muka tangga.
Di depan tangga tersebut, dukun berteriak memanggil tuan rumah dan terjadilah dialog: “Eee tupu mbanua, seimo yojo (kalau anak laki-laki) atau yodi (kalau anak perempuan). Bayi dijemput oleh tuan rumah lalu makan sirih yang sudah tersedia, dan memberikan uang kepada sang bayi sesuai keihlasan.
Maksudnya ialah rai maboli vayona (agar semangat jiwa anak tersebut tidak tertinggal). Tuan rumah membuang uang di atas loyang sambil berkata: ” Ituma vayomu, makoo balenggamu, mandate umurumu, masempo dalemu“. Itulah semangat (kekuatan rohmu), keras kepalamu (sukar menjadi sakit), panjang umurmu, dan mudah rezekimu”.
Dukun kemudian meninggalkan tempat itu menuju rumah tetangga yang lainnya sampai rumah yang ketujuh dengan cara yang sama. Setelah itu dukun dan rombongan kembali ke rumah dan dengan demikian selesailah upacara tersebut dan dilanjutkan dengan upacara Nosaviraka ritoya (naik ayunan).

Motana Tomate


Maksud dan tujuan Upacara: Agar arwah jenazah tersebut dapat beristirahat untuk selama-lamanya, sebab kubur dianggap sebagai tempat peristirahatan roh yang abadi karena kehidupan di dalam kubur dianggap sama dengan kehidupan di dunia ini, maka ia perlu ditemani oleh satu orang atau lebih; kepala manusia yang dikuburkan bersama dia, simbol suatu kehidupan bersama di alam kubur Melepaskan jenazah kembali ke asalnya, yaitu tanah karena asal usul kejadian manusia berasal dari tanah Agar tidak menyimpan bau busuk dalam kampung (rai mompaka vau ngapa) Menunjukkan. rasa kebesaran dan kecintaan rakyat kepada raja atau bangsawan atau orang tua adat yang meninggal dunia.
Tahap-tahap kegiatan upacara penguburan ini terdiri atas:
  1. persiapan penguburan
  2. mengantar jenazah ke kuburan
  3. penguburan jenazah
Masa Persiapan Penguburan
Bila saat penguburan sudah ditetapkan oleh musyawarah orang tua hadat kerajaan (libu tobia nungapa), maka persiapan-persiapan penguburan segera ditaksanakan. Menjelang saat upacara penguburan kegiatan dalam upacara molumu semakin intensif, seperti Motinti gabara (memukul gendang), semakin menyemarakkan situasi semakin tinggi frekuensi pergantian orang-orang dalam tugas Movara. Demikian pula acara Mantangisi (menangis karena meninggalnya raja), orang-orang yang dipandang memiliki keahlian menangis dan kemampuan mengungkapkan kata-kata yang mengandung kesedihan dan keharuan semakin sering melakukan tugas tersebut.
Menjelang saat-saat mengantar jetazah ke kuburan, gendang dipukul bertalu-talu dan saling bersahut-sabutan dari ketiga tempat yang ditentukan. Suara orang-orang yang menangisi mayat terdengar semakin ramai, dan suasana berkabung mewarnai seluruh masyarakat dan sibuk membantu segala sesuatu apa yang dapat dan harus mereka kerjakan.
Perlengkapan Upacara
  1. Membuat tempat usungan yang disebut bego-bego yang cukup besar dan dapat memuat 14 orang Topovara, seorang kayu mpayu, dan seorang pemimpin di samping mayat
  2. Membuat dan mempersiapkan tempat tempayan air yang digunakan untuk menyiram kubur, yang disebut Lera-lera. Lera-lera ini berbentuk meja, yang juga diusung ke kubur oleh 4 orang, yang berisi tempayan dan cerek yang diisi air
  3. Membuat dan mempersiapkan Kuburu, yaitu alat penutup bagian atas usungan, yang dibuat dari gaba-gaba, berbentuk setengah bundaran. Kuburu ini ditutup dengan Vuya Bomba (sarung Donggala), dihiasi dengan janur dan bunga daun kemboja
  4. Menggali kuburan umumnya semua orang merasa berkewajiban untuk menggali kubur, termasuk keluarga yang datang dari luar desa. Penggalian kubur dimulai sejak seorang meninggal. Tidak heran kuburan raja-raja/bangsawan itu sangat dalam sampai 10 meter. Karena itu, dalamnya kubur sering dijadikan ukuran besar kecilnya simpati dan rasa pengabdian anggota masyarakat/ keluarga terhadap orang yang meninggal, bahkan dijadikan ukuran pembanding kebesaran raja yang satu dengan yang lain pada zaman dulu
  5. Mempersiapkan tali yang digunakan untuk menurunkan jenazah/lumu di liang lahat. Pada akhir-akhir ini, kuburan tidak lagi sedalam seperti dahulu. Dalamnya kubur sama dengan kubur umum, dan petugas penggali kubur dilakukan oleh petugas-petugas tertentu saja. Karena itu, perlengkapan ini sudah tidak disiapkan lagi dewasa ini
  6. Membuat tangga (Lanjara), sebagai tangga khusus bagi penurunan jenazah dari rumah, dan membongkar sebidang dinding rumah, tempat tangga tersebut dipasang. Maksudnya ialah agar roh dari jenazah yang diturunkan tidak akan kembali mengganggu keluarga yang berduka. Karena itu, begitu jenazah diturunkan, tanggal dirusakkan dan dinding rumah segera dipasang kembali
Penyelenggaraan Teknis Upacara
  1. Orang-orang yang mengusung mayat, dari kalangan masyarakat luar (Topokova bego-bego)
  2. Topovara, yaitu orang yang melakukan upacara (novara pengipasan jenazah) di atas usungan 14 orang
  3. Kayumpayu, orang-orang yang diberi tugas/menjaga memegang payung di atas bego-bego (usungan) yang turut dipikul bersama jenazah
  4. Topodu tomate (orang yang memandikan jenazah)
  5. Toposompu tomate (orang yang mengafankan jenazah)
  6. Toposambayaki, yaitu orang yang menyembayangkan mayat. Ketiga upacara point 4, 5, 6 umumnya dilaksanakan oleh guru-guru (agama) dan yang bersedia untuk itu
  7. Topotalaki, orang yang membaca talkin di atas kubur sesudah pemakaman
  8. Topokova lera-lera (tempat tempayan dan cerek yang berisi air) yang digunakan menyiram kubur, setelah kubur selesai ditimbuni dengan tanah yang agak tinggi
  9. Toposilele doi, orang yang diberi tugas menghamburkan sejumlah uang logam (doi manu), sepanjang jalan mengantar jenazah dari rumah ke pekuburan. Sekarang kegiatan ini sudah tidak ada
  10. Topokomando, orang yang bertugas memimpin acara pengusungan jenazah dari rumah ke pekuburan dan berada di atas usungan, biasanya dari Tadulako.
  11. Orang tua hadat (Totua nungapa), yang bertugas meminpin penyelenggaraan teknis upacara adat, sejak masa molumu sampai upacara adat kematian dianggap, selesai
  12. Raja-raja atau bangsawan bertugas membetulkan jalannya upacara memberi nasihat dan sebagainya
Upacara-upacara yang berlangsung dalam masa persiapan menjelang jenazah diantarkan ke kuburan ialah:
  1. Upacara memandikan mayat (moriu tomate)
  2. Upacara mengkafankan mayat (mosompu tomate) dengan kain putih
  3. Menyembayangkan (shalat) jenazah (nosambyaki tomate).
Dahulu jenazah yang disemayamkan dalam peti sudah dimandikan dan dikafankan, hanya saja belum disembahyangkan. Sehingga menjelang jenazah diantar ke kuburan diadakan upacara shalat jenazah. Dewasa ini, keluarga bangsawan yang meninggal dunia tidak lagi molumu (disemayamkan dalam peti) dalam waktu yang cukup lama, tapi paling lama 1 (satu) hari 1 (satu) malam saja.
Upacara memandikan jenazah (Modu Tomate)
Memandikan jenazah ialah suatu upacara membersihkan badan jenazah dari berbagai kotoran dan najis. Maksud dan tujuannya agar jenazah selama disemayamkan tidak mengeluarkan bau yang busuk, dan dalam rangka memenuhi perintah agama.
Penyelenggara teknis upacara tersebut pada umumnya adalah pegawai syara, atau anggota keluarga yang terdekat, yang bersedia bertugas untuk itu. Yang dianggap ahli dalam seluk beluk dan syarat-syarat memandikan jenazah. Dahulu para budak-budak yang ingin dibebaskan dari perbudakan, diwajibkan mandi dengan air sisa yang jatuh dari rumah tempat jenazah dimandikan. Meteka langsung mandi dengan air yang jatuh di bawah kolong rumah.
Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara tersebut ialah seluruh anggota keluarga, ketua-ketua adat, para anggota masyarakat, walaupun mereka hanya ikut hadir di saat upacara tersebut. Dan waktu upacara memandikan jenazah tersebut umumnya dilakukan pada saat-saat menjelang jenazah tersebut diantar ke kuburan. Walaupun sebelumnya sudah dibersihkan dari segala kotoran dan najis yang biasa disebut niriu sala. Tempat upacara memandikan jenazah tersebut ialah di dalam rumah atau bagian beranda rumah, yang memungkinkan air mandi dapat jatuh ke tanah. Di tempat pemandian tersebut ditutup dengan sampiran, sehingga yang berhak masuk hanyalah petugas-petugas khusus yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dalam upacara ini perlengkapan-perlengkapan yang disiapkan ialah air mandi, berbagai kembang bunga dan daun yang wangi dicampurkan pada air mandi (ue vongi), atau sabun mandi, tempayan (Gumba), loyang (Sempe) dibuat dari tanah, ember, cerek (sere) dan alat pengangkat air mandi, pobasa (kain mandi yang digunakan menutup jenazah).
Jalan upacara memandikan jenazah
  1. Sesudah para petugas dan perlengkapan sudah siap seluruhnya, maka jenazah diangkat ke tempat pemandian
  2. Tiga atau empat orang dari anggota keluarga nipolangga (menjadi alas jenazah saat dimandikan). Mereka duduk dalam satu arah dan meluruskan kedua kaki ke depan untuk tempat meletakkan jenazah sebagai alas, mulai dari kepala sampai pada bagian kaki. Jenazah diletakkan di atas kaki dalam keadaan terlentang dan ditutup dengan kain mandi putih (kae pobasa). Mereka bertugas membersihkan badan dan seluruh anggota tubuh jenazah pada bagian yang dihadapkan masing-masing. Posisi orang-orang nipolonggu, juga berdasarkan strata sosial, orang yang duduk bagian kepala, atau orang-orang keluarga bangsawan, dan orang yang duduk pada bagian pinggul adalah orang-orang yang biasa yang terpandang dalam masyarakat. Disamping itu ada pula petugas (guru) yang khusus menyiram bagian tubuh, dan memberi bimbingan teknis cara membolak-balik badan jenazah pada saat dimandikan. Umumnya mereka itu dari kalangan orang tua hadat baik laki-laki atau perempuan. Dan sekarang ini dilakukan oleh pegawai syara, bila jenazah itu laki-laki. Selama memandikan mayat, kain penutup jenazah tersebut tidak boleh dibuka. Tangan mereka tetap menyentuh jenazah di bawah lapisan kain penutup tersebut pada saat menggosok-gosok atau membersihkan tubuh jenazah tersebut. Guru pada umumnya dianggap memiliki pengetahuan untuk memandikan mayat agar tidak cepat busuk, atau menghilangkan bau busuk.
  3. Bila upacaea memandikan jenazah tersebut selesai, jenazah diangkat kembali ke tempat tidurnya, untuk siap dikafankan dengan kain putih.
Pantangan-pantangan selama upacara mamandikan jenazah tersebut ialah:
  1. Bagi petugas dilarang bicara, mulai saat memandikan sampai selesai, khususnya yang menyangkut keadaan cacat tubuh atau kelainan-kelainan yang mereka rasakan atau alami selama memandikan jenazah
  2. Pantang membuka kain mandi (pobasa) pada saat memandikan jenazah, kecuali bagian kepala dan kaki.
Mengkafankan jenazah (Mosompu Tomate)
Mosompu Tomate (membungkus jenazah) adalah salah satu kewajiban keluarga, untuk memberi pakaian jenazah dengan kain putih yang dibuat dari katun sebanyak 5 sampai 7 lapis. Maksud dan tujuannya ialah (1) Agar si mayat yang berpakaian putih tersebut dapat diterima oleh Yang Maha Kuasa, karena pakaian putih adalah simbol kesucian dan kebersihan, (2) Matundu riparenta nuagama (patuh terhadap perintah agama).
Penyelenggaraan teknis dilakukan oleh pegawai syara (bila jenazah tersebut laki-laki dan bila yang meninggal adalah perempuan, maka petugas teknisnya juga dari kalangan perempuan yang dianggap pantas dan ahli tentang cara memandikan jenazah). Dan piliak-pihak yang terlibat dalam upacara tersebut terbatas pada petugas dan disaksikan oleh orang tua hadat dan keluarga yang terdekat. Namun yang hadir pada saat itu, datang dalam berbagai lapisan masyarakat yang menunggu saat-saat mengantar jenazah ke kuburan.
Waktu upacara tersebut umumnya dilaksanakan pada saat matahari sudah mulai condong ke Barat (Natelibieo) atau di atas pukul 12.00 sampai 15.00 siang hari. Tempat upacara tersebut diadakan dalam rumah atau Baruga pada satu tempat yang tertutup. Kain penutup atau sampiran yang digunakan ialah kain adat yang disebut mesa (kain adat yang diwariskan dari nenek moyang mereka).
Persiapan dan perlengkapan upacara pengkafanan jenazah terbut selain kain putih, juga diadakan dulang 1 buah yang berisi sebagian pakaian Mesa (kain adat) sanggayu (Kae gandisi) ± 3 meter. Dulang ini gunanya untuk menyimpan Kain Mesa (kain adat) dan Sanggayu gandisi yang digunakan dalam upacara pengkafanan jenazah yaitu dengan 1 lapis kain putih terbuat dari kotton (sanggayu gansisi) yang dipotong-potong untuk kain kafan. Adapun Mesa (kain adat) sebagai salah satu isi baki adalah simbol dari kebangsawanan dan bergfungsi sebagai penawar dari segala sesuatu yang memberikan gangguan-gangguan bagi kehidupan.
Jalannya upacara pengkafanan jenazah ialah pertama kain putih (kain kafan) tersehut dipotong-potong sesuai panjangnya jenazah, ditambah 10 – 20 meter di bagian ujung kaki dan kepala, untuk tempat pengikat. Kedua pembungkus jenazah tersebut dengan kain putih yang telah dipotong-potong tersebut, sampai 7 lapis. Tali pengikat juga dibuat dari kain kafan tersebut. Setelah selesai dikafankan jenazah diletakkan kembali di atas kasur, atau disimpan dalam Lumu (peti) jenazah. Dahulu jenazah tersebut disemayamkan sampai 40 hari dalam peti tersebut. Sekarang jenazah tersebut begitu selesai dimandikan dan dikafankan langsung dishalatkan diantar ke kuburan. Upacara mengipas jenazah sejumlah 2 x 7 = 14 orang seperti upacara movara yang kita uraikan di atas. Jenazah ditutup dengan sarung Donggala (Vuya Bomba). Hanya saja waktu upacara movara tersebut lebih singkat yaitu saat setelah menghembuskan napas sampai saat sesudah dimandikan dan dikafankan.
Pantangan-pantangan pada upacara tersebut ialah:
  1. Pantang mengikat kain kafan yang dililitkan pada jenazah tersebut dengan ikatan mati (noboke mate), karena ikatan mati tersebut dinilai sebagai simbol akan banyak kematian yang menyusul
  2. Pantlangan bagi petugas berbicara atau ketawa, karena dinilai merendahkan derajat keluarga jenazah
  3. Pantang menangisi mayat dengan suara yang keras pada saat itu, sebab saat itu dibutuhkan ketenangan dan tidak mengganggu roh jenazah
Nosambayaki Tomate (Menshalatkan Jenazah)
Mensyalatkan jenazah ialah suatu upacara keagamaan (Islam), di mana jenazah tersebut diletakkan di depan para petugas yang menshalatkannya, dengan cara-cara tertentu yang ditentukan oleh agama Islam, baik jenazah laki-laki atau perempuan.
Tujuannya ialah :
  1. Agar arwah jenazah diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa, dan menerima segala amal kebaikannya
  2. Agar jenazah tersebut diakui ke Islamannya oleh masyarakat luas
  3. Menyerahkan roh dan jazad kembali ke hadapan Tuhan dengan ikhlas, sesuai perintah agama
Penyelenggaraan teknis upacara tersebut ialah para pegawai syara, tokoh-tokoh agama dan dewan hadat, serta mereka yang bersedia dan tahu cara-cara menshalatkan jenazah. Dan umumnya adalah pihak laki-laki, sekalipun jenazah tersebut adalah perempuan. Sedang pihak-pihak yang terlibat dalam upacara hampir seluruh anggota keluarga, untuk mempersiapkan segala keperluan upacara tersebut.
Waktu upacara shalat jenazah tersebut dilakukan pada saat sesudah jenazah dikafankan, menjelang saat-saat jenazah siap diantarkan ke pemakaman yang terakhir. Begitu jenazah selesai dishalatkan sementara kembali nivara untuk beberapa saat menunggu komando untuk siap dipindahkan ke usungan (bego-bego). Tempat upacara shalat tergantung dari libu (musyawarah) atau sintuvu totua nungapa (persepakatan bersama Ketua Dewan Hadat kerajaan), umumnya dilaksanakan dalam rumah dan ada pula yang dilaksanakan di Mesjid.
Persiapan dan perlengkapan upacara shalat jenazah tersebut hanyalah air untuk berwudhu bagi orang-orang yang menshalatkannnya serta ruangan khusus, yang perlu dikosongkan dari peserta yang hadir.
Jalannya acara sesuai dengan tuntutan agama yaitu:
  1. Jenazah yang sudah dikafankan dan telah ditempatkan di atas kasur dan ditutupi dengan sarung Donggala (Vuya Bomba) tersebut diletakkan dalam posisi melintang dengan menempatkan bagian kepala pada sebelah Utara.
  2. Orang-orang yang menshalatkan berdiri menghadap ke arah Kiblat di mana jenazah diletakkan di depan mereka.
  3. Shalat tersebut dipimpin oleh seorang imam shalat, yang berdiri terdepan, sedangkan jenazah berdiri bershaf di belakang imam, dalam jumlah yang tidak ditetapkan tergantung partisipasi orang-orang yang hadir.
  4. Shalat itu terdiri dari 4 kali takbir, dan di antara 4 takbir tersebut diiringi dengan bacaan-bacaan doa-doa tertentu, serta ditutup dengan salam.
Menurunkan jenazab dari rumah
Bila mayat sudah siap diturunkan ke tanah, maka sebidang dinding rumah dibuka untuk dilalui jenazah tersebut. Tangga khusus untuk tempat turun telah disiapkan sebelumnya oleh para tukang yang disebut Lanjara.
Mangantara Tomate (Mengantar Jenazah)
Mengantar jenazah dari rumah kediaman ke pemakaman, adalah satu tahap kegiatan yang diselimuti dengan berbagai upacara tradisional yang patut dicatat di sini yaitu pada saat: mokova bego-bego dan lera-lera (memikul usungan jenazah dan tempat tempayan air), yaitu upacara:
  1. Mekaiaka (upacara meminipin pengusungan jenazah), dan
  2. Nosikatovenaka (upacara saling menyatakan kasih sayang)
Kedua upacara tersebut di atas pada hakikatnya mempunyai dua tujuan yang berlawanan yaitu :
  1. Menghendaki. agar jenazah segera dikuburkan, sebagai wakil dari keluarga pihak yang tidak ditimpa musibah kematian, karena merasa sebagai suatu keharusan
  2. Pihak kedua yaitu keluarga si mati, yang seakan-akan tidak menghendaki jenazah tersebut dikuburkan
Hal tersebut tergambar dalam jalan acara mengantar jenazah, sejak usungan mulai diangkat sampai di pekuburan. Pihak pertama mekaika, memberi komando dan memimpin acara pengusungan, sedang pihak kedua nosikatovenaka, menyatakan rasa saling sayang untuk melepaskan jenazah ke pemakaman.
Penyelenggara teknis acara pengusungan ini dipimpin oleh seorang bangsawan yang berpengaruh yaitu petugas yang memberi komando pengusungan (topokomando), dengan teriakan-teriakan yang membakar semangat,. yang kadang-kadang memukul arang-orang yang melanggar tata cara tertentu, atau seorang budak sahaya yang disiapkan ikut mengantar jenazah tersebut. Topokomando tersebut berdiri di atas usungan. Pihak kedua tukang pikul (topokova) yang telah ditetapkan, atau dengan sukarela ikut serta mengambil jasa-jasa baik dalam tugas tersebut secara bergantian sepanjang jalan. Jumlahnya cukup besar, sebab selain usungan tersebut cukup besar dan berat, sebab yang ikut diusungkan bersama jenazah, sejumlah orang antara lain 2 orang kayumpayu (pemegang payung) yang berada pada bagian kepala dan kaki jenazah, dan topovara yang berada di samping kiri kanan jenazah sebanyak 14 orang dan topokomando.
Pihak-pihak yang terlibat, Meliputi seluruh lapisan masyarakat, mulai dari raja-raja, Ketua Dewan Adat, sampai budak-budak, baik laki-laki atau perempuan. Waktu upacara pengantar jenazah, umumnya pada saat matahari mulai condong ke Barat (natebantueo). Tempat upacara ialah sepanjang jalan dari rumah kediaman sampai ke pekuburan.
Perlengkapan upacara seperti biasa ialah 3 buah gendang yang terus menerus dipukul dengan nada dan irama yang menimbulkan rasa ketakutan dari 3 buah/tempat gendang yang saling bersahutan satu dengan yang lain yang membahana dan menciptakan situasi berduka pada saat itu.
Jalannya upacara mengantar jenazah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, Mantanginjaka – menangisi mayat pada saat-saat jenazah siap diangkat/diusung oleh seorang ibu yang diberi tugas untuk, seperti yang telah diuraikan terdahulu. Maksudnya mengundang dan menggugah rasa keharuan kepada para peserta upacara pada saat itu
Kedua, Mengangkat dan mengusung mayat ke pekuburan. Bila jenazah telah siap dalam usungan, maka komando pengusungan dimulai. Sebelum usungan diletakkan di bahu, usungan tersebut diangkat/di pundak, dipindah ditempatkan selama 3 hari. Setelah usungan yang berat ini berada di bahu para pemikul terjadilah acara Nosikatovenaka dan acara Nekaiaka yaitu acara saling menarik dari 4 sisi (depan belakang), (kiri dan kanan) usungan yang lain menarik maju, menarik mundur, ke kiri atau ke kanan, sehingga usungan bergerak tak menentu diiringi dengan sorak sorai. Pemimpin acara tersebut berteriak dengan pekikan nada yang menumbuhkan bulu roma, memberi komando untuk jalan terus. Dalam saat seperti ini Topokomando mulai melakukan pukulan kepada budak sahaya, yang memang disiapkan/direncanakan untuk itu sebagai anggota pemikul usungan. Keadaan seperti itu berlaku terus sampai ke pekuburan, diiringi dengan suara gendang yang semakin keras, sehingga sering antara pemukul usungan tersebut jatuh tersungkur, setiap melalui jalan-jalan yang sukar. Maksudnya menunjukkan rasa kesayangan kepada raja mereka yang meninggal, karena mereka percaya bahwa roh si mayat senang diperlakukan demikian, sebagai simbol dari rasa cinta rakyat kepadanya.
Ketiga, sepanjang jalan dari ke kuburan oleh raja atau Ketua Dewan Hadat yang ditugaskan untuk itu, menghamburkan uang logam lam (doi manu) atau uang logam lainnya seperti uang benggol dan sebagainya. Acara ini sudah hilang sejak zaman kemerdekaan.
Upacara Pemakaman/Penguburan
Setelah jenazah sampai di tempat penguburan, maka diadakanlah upacara penguburan (motana tomate). Tahap-tahap jalan upacara tersebut ialah:
  1. Menetapkan orang-orang yang bertugas turun pertama ke dalam kubur (topokanavu riulu ridayo), biasanya dari kalangan hamba sahaya dari raja yang meninggal atau budak dari kerajaan lain. Karena ada sesuatu rahasia yang tidak boleh diketahui orang banyak, yaitu membawa kepala manusia. Mereka sudah berada dalam kubur sebelum jenazah tiba.
  2. Mouluraka lumu (menurunkan peti jenazah) dengan tali, melalui suatu perintah komando Tadulako. Hal ini justru karena dalamnya kubur berkisar 5 sampai 10 meter dengan lebar 2 sampai 3 meter.
  3. Modungga limu (membuka peti jenazah). Apabila peti jenazah sudah disambut dan diletakkan dalam posisi yang benar, maka peti tersebut segera dibuka, disambut dengan suara azan di atas kubur oleh bilal (Topobaa).
  4. Mosunju Tomate (membalikkan tubuh dan muka jenazah kearah Kiblat di liang lahat). Tugas ini dianggap yang paling berat, karena jenazah tersebut umumnya sudah hancur dan busuk.
  5. Mempopaeki leantana (menciumkan jenazah dengan liang pada bagian tanah kuburan), yaitu dilakukan oleh budak-budak, yang juga dipimpin oleh seorang Tadulako dari atas kubur.
  6. Mopalinga yang berarti membuat kita lupa/melupakan orang yang mati tersebut. Upacara ini dilakukan sebelum kuburan ditimbuni oleh Ketua Adat yaitu meletakkan sebuali boneka/orang-orangan yang dibuat dari batang pisang yang biasa disebut siolo, yang telah disiapkan sebelumnya diisi mayat. Maksudnya agar si mayat tidak lagi mengingat anak cucu yang ditinggalkannya. Karena bila tidak dilakukan maka roh si mayat akan selalu datang mengganggu anak cucunya di rumah. Sebaliknya bila hari-hari atau minggu-minggu pertama anak cucunya ada yang rindu mereka membuat siolo, dan mengantarnya ke kubur. Siolo tersebut diletakkan di atas kuburan orang tua/ neneknya tersebut.
  7. Molunuki dayo (menyiram kuburan) dengan air yang sudah disiapkan dari rumah dan dipikul bersama jenazah ke pemakaman. Acara ini dilakukan selama 3 atau 7 hari pada waktu pagi dan sore hari, sebagai simbol untuk menciptakan suasana yang dingin, dan tenang di dalam kubur. Pelaksana teknis ialah pegawai syara dan pandeleka. Pandeleka adalah 2 orang gadis pilihan yang diberi tugas membawa air di cerek, dengan berpakaian adat, yaitu memakai 2 sarung Donggala (Vuya Bomba), dan selama pedalanan ia menutup seluruh tubuhnya kecuali yang terbuka adalah bagian mata.
  8. Upacara motalaki (membaca Talkin) di atas kuburan tersebut yang biasanya dilakukan oleh pegawai syara. Talkin bersumber dari buku Kerukunan yang merupakan kumpulan ayat-ayat AI Qur’an dan Hadits.
  9. Meletakkan Kuburu (sebuah alat penutup jenazah sesaat diusungan) diletakkan di atas kuburan sesudah ditimbun, sebagai simbol bahwa kuburan tersebut masih baru.
  10. Mengambur bunga-bunggaan di atas kuburan dari seluruh anggota keluarga, pertanda penghormatan terakhir.
Maksud dan tujuan upacara motalaki tersebut agar bila malaikat Munkar dan Nakir bartanya tentang sesuatu kepada si mayat, maka ia dapat menjawab dengan benar dan fasih, sehingga dapat selamat dan hidup tenang di alam kubur. Bila upacara motalaki ini selesai, maka selesailah seluruh upacara pemakaman, dan seluruh pengantar jenazab pulang ke rumah keluarga si mati untuk makan bersama dan seterusnya siap melakukan upacara-upacara sesudah penguburan tersebut di rumah kediaman si mayat. Perlengkapan pengantar jenazah seperti bego-bego, lera-lera, kuburu ditinggalkan di pekuburan.
Pantangan-pantangan selamna upacara penguburan ini ialah dilarang makan siang bagi seluruh anggota keluarga dan seluruh anggota masyarakat di desa di mana raja/bangsawan tersebut meninggal dunia.

Tanjung Karang, Pantai Pasir Putih dan Terumbu Karang


Kota Donggala, Sulawesi Tengah menyajikan banyak tawaran pelesiran. Salah satunya menonton para penenun Buya Sabe,atau sarung Donggala. Lalu, menikmati pasir putih Tanjung Karang dan menyicipi Kaledo, makanan khasnya. Hari ini, kita akan menuju Tanjung Karang. Menikmati indah pantai pasir putihnya, atau terumbu karangnya.
Mata kita langsung tertumbuk pada pasir putih yang menghiasi bibir pantainya. Dari atas jalanan di bukit Donggala, terlihat jelas hamparannya, juga kumpulan kapal niaga dan perahu nelayan di Pelabuhan Donggala.
Indah dan luar biasa! Itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkannya.
Sekitar 20 tahun silam, Pantai Tanjung Karang ini hanya dikenal sebagai tempat istirahat sementara para nelayan setelah lelah melaut.
Saat itu, belum ada jalan masuk ke Pantai Tanjung Karang, padahal hamparan pasir putih di pantai itu sungguh indah. Perkebunan kelapa milik masyarakat juga tumbuh subur di sekitar pantai ini.
Tapi sekarang, Pantai Tanjung Karang sudah berubah menjadi objek wisata favorit bagi warga Palu dan sekitarnya. Di musim libur, pantai ini dipadati wisatawan lokal, bahkan turis mancanegara. Rata-rata berasal dari Eropa.
Agus, salah seorang petugas di pintu masuk Tanjung Karang, mencatat setiap hari libur, sedikitnya 200 kendaraan roda empat dan dua masuk-keluar di objek wisata Tanjung Karang ini. Bahkan angka ini meningkat pesat setelah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mencanangkan lima hari kerja sejak pertengahan April 2007 lalu.Untuk setiap pengunjung dikenai biaya hanya Rp 1000.
“Pengunjung pada Sabtu, Minggu, dan hari libur, paling banyak. Ratusan orang biasanya,” kata Agus.
Untuk memberikan pelayanan bagi para wisatawan, yang umumnya wisatawan keluarga, penduduk setempat membangun dan menyewakan puluhan penginapan sederhana, yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia.
Tarifnya relatif murah, antara Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu semalam untuk masing-masing cottage yang memiliki satu kamar tidur, satu ruang terbuka sebagai teras, dan satu kamar mandi. Tarif ini tidak termasuk makan dan minum.
Menu yang disajikan para pengelolanya beraneka ragam, namun umumnya berupa makanan laut, seperti ikan bakar, cumi-cumi goreng, dan lobster rebus.
Ada juga kopi panas, teh, dan sarabba (minuman khas terbuat dari jahe dan gula aren yang direbus serta diberi susu kental), serta pisang goreng panas.
Pengunjung juga dapat menikmati makanan, minuman, dan penganan lainnya di cafe-cafe sederhana di area penginapan dan sepanjang bibir pantai Tanjung Karang.
Di Tanjung Karang, ada pula sebuah cottage milik Pieter, seorang warga Jerman yang beristrikan seorang perempuan asal Sulawesi Utara. Ia menamai kawasan cottagenya dengan Prince John Dive Resort. Cottage yang dikelilingi pagar kayu dan tembok dengan luas halaman sekitar 60 x 50 meter tersebut dilengkapi berbagai fasilitas memadai, seperti café dan lapangan voly pantai.
Pemilik cottage ini juga melengkapinya dengan kapal pesiar dan peralatan diving serta snorkeling, yang memang diminati wisatawan mancanegara.
“Wisatawan yang datang rata-rata berasal dari Jerman, Australia dan Austria. Mereka sangat suka menyelam,” kata Junaidi Kariso, Manager Public Relation di Prince John Dive Resort.
Nah, jika ingin bersnorkeling, cukup merogoh kocek Rp 10 ribu. Snorkel bisa kita sewa pula pada penduduk setempat. Harga itu tidak dipatok per jam, tapi per hari. Murah, bukan?!
Jika ingin menyelam kita bisa menyewa scuba diving milik Prince John Dive Resort. Biayanya € 26. Itu sekitar dengan Rp 338 ribu. Pengelolanya memang memakai kurs Euro, karena wisatawannya rata-rata dari Eropa.
Kalau beruntung bisa mendapatkan scuba diving dari penduduk lokal seharga Rp 100 ribu.
Kalau kemahalan cukup snorkeling saja. Tuwo, perempuan penduduk lokal berusia 40 tahun menyewakan snorkelnya Rp 10 ribu per hari.
Mau snorkeling? Yuk! Wow, ternyata memang luar biasa indah. Hanya selangkah dari bibir pantai dan masih dari atas permukaan kita sudah dapat menikmati indahnya terumbu karang dan ikan hias yang menari-nari di atas dan di sela-sela karang.
“Di sini asyik sekali. Ada karang warna-warni dan ikan yang cantik-cantik,” tutur Muhammad Nizam, anak berusia 9 tahun yang dipandu ibunya bersnorkeling.
Bagi wisatawan asal Jerman, Hillmart, ia memilih Tanjung Karang lantaran belum tertalu ramai dan masih alami. “Di sini sangat tenang, belum banyak orang. Jadi saya pilih di sini melewatkan akhir pekan,” kata dia.
Rasa-rasanya setelah puas bermain-main di Tanjung Karang, sekarang waktunya makan. Tentu saja, menunya adalah Kaledo atau biasa orang menyebutkan kaki lembu Donggala. Ya, karena memang bahan utamanya adalah kaki lembu. Apa itu Kaledo, besok kita akan berkisah lagi.

Nosaviraka Ritora


Maksud dan Tujuan Upacara : Upacara ini bertujuan agar sang bayi sudah mempunyai tempat yang aman dari gangguan mahluk halus dan terhindar dari ganguan kakak-kakaknya yang masih nakal.
Tempat Pelaksaan Upacara : Upacara ini berlangsung dalam rumah, dan diperlengkapi dengan bahan-bahan upacara antara lain 4 macam makanan dari beras ketan, masing-masing disimpan di bawah ayunan, tengah rumah, satu baki untuk bagian dukun dan satu baki lagi untuk pangolo nu ngana kodi (bagian untuk bayi).
Dua baki tersebut diisi dengan aneka ragam makanan dan buah yang manis. Dimaksudkan agar sang bayi hidup dalam keadaan manis artinya bebas dari kesusahan dan penderitaan. Bayi tersebut oleh dukun dinaikkan dalam ayunan setelah melalui 7 orang ibu menerima dan mengoperkan bayi tersebut selama tiga kali bergilir. Dan akhirnya kembali ke tangan dukun dan meletakkan sang bayi di atas ayunan. Ayunan tersebut diberi kelambu, bantal, dan sarung bayi dari kain berwarna kuning.
Ada pula vati dalam keluarga pada masyarakat Kaili yang mengadakan upacara Nompesuvuki ngana (mengunjungi anak) yaitu suatu upacara di mana dari pihak nenek perempuan dari ayah sang bayi mengadakan kunjungan kepada bayi dengan satu upacara tertentu pula. Upacara ini bertujuan agar anak tidak berpenyakit mata (nageri), suka menangis (marenge), dan berwatak jorok (matontoru).
Nenek perempuan dari ayah sang bayi mempersiapkan bahan-bahan dari neneknya diantar kepada cucunya sejumlah bahan makanan dan keperluan dapur, seperti makanan dan sayur masing-masing satu belanga, kayu api, sagu, beras, pisang satu sisir, dan daun pisang 7 lembar. Alat-alat dapur antara lain tavolo (alat peniup api yang dibuat dari bambu), supi (penjepit arang api), sendok nasi, dan sayur masing-masing satu buah.
Makanan tersebut disajikan kepada ibu sang bayi (anak mantu), dan makanan tersebut harus diambil dengan dua belah tangan. Maksudnya agar susu ibu sang bayi tidak besar sebelah. Selesai makan, mertua mengikat botiga (sebutir emas) di lengan sang bayi, agar tenang tidur dan tidak gelisah. Acara ini dilangsungkan kapan saja sebelum hari ke 40 kelahiran anak.

Nosuna / Khitan


Upacara ini sudah menjadi adat dan tradisi di kalangan masyarakat Kaili sejak masuknya Islam hingga dewasa ini, secara turun temurun. Upacara nosuna (khitan) dilaksanakan pada anak laki-laki dan perempuan. Namun pada bahagian ini hanya diuraikan khusus pada upacara nosuna bagi anak laki-laki yang dilakukan menjelang anak berumur sekitar 7 sampai 8 tahun, yaitu pada anak-anak yang belum memasuki puber atau balig (nabalego).
Maksud dan Tujuan Upacara
Upacara ini dilaksanakan karena mempunyai maksud dan tujuan tertentu menurut adat dan kepercayaan masyarakat setempat, yaitu :
  • Mentaati perintah agama (sunah Nabi) yang disebut Noinpataati Parenta Nabita (mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW).
  • Nompakavoe koro (mensucikan diri) .
  • Nompataati ada (mematuhi adat kebiasaan masyarakat agar sang anak tersebut (yang disunat) terlepas dari dosa, di samping anak itu terhindar dari berbagai penyakit (perkembangan yang tidak normal baik psikhis maupun phisik).
Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara ini memerlukan persiapan-persiapan yang cukup selain bahan yang dibutuhkan untuk upacara juga menentukan pula adanya kesiapan waktu yang baik untuk diselenggarakannya upacara ini, karena soal waktu adalah faktor menentukan suksesnya kelangsungan hidup anak yang disunat; keadaan waktu yang tidak baik merupakan pantangan timbulnya suatu kecelakaan pada diri sang anak. Menurut kepercayaan adat setempat bahwa pelaksanaan upacara ini hendaknya jatuh pada bulan ke 1, 4, 7, 10, 13, 16, 19, 22, 25, serta ke 28 bulan di langit (Nopalakia) telapak tangan, yakni diawali dari telapak tangan bagian dalam, jari kelingking, jari manis, jari tengah kemudian jari telunjuk lalu ibu jari. Setiap bulan yang jatuh pada bagian dalam telapak tangan dan jatuh pada jari tengah bagian dalam akan mempunyai arti yang baik, serta mendapatkan keselamatan, rezeki bagi anak dan semua keluarganya.
Adapun hari-hari yang baik dalam melaksanakan upacara ini menurut palakia (buku perhitungan bulan), yaitu hendaknya jatuh pada hari Senin, Minggu, dan hari Jum’at yang sedianya dilaksanakan pada siang hari jam 2 sampai jam 4, dengan alasan bahwa pada saat itu merupakan waktu yang menguntungkan untuk menuju keselamatan.
Tempat Penyelenggaraan Upacara
Pelaksanaan/penyelenggaraan upacara ini diadakan di rumah orang tua di mana siposuna diundang untuk datang ke tempat itu. Alasan diadakan upacara ini di tempat rumah orang tua adalah didorong oleh rasa kasih sayang dan keinginan untuk menghormati orang tua pihak perempuan (nenek toniasa) tersebut.
Persiapan dan Teknis Perlengkapan Upacara
Adapun yang dimaksud dengan persiapan di sini adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum acara puncak. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Menyediakan 1 (satu) ekor kerbau dan 2 (dua) karung beras dan bahan-bahan lainnya. Kepala kerbau tersebut digunakan sebagai tempat duduk toniasa pada saat disunat (khitan) dan ekor kerbau tersebut digunakan sebagai gelang kaki pada jalannya upacara, kemudian dagingnya untuk dimakan oleh semua anggota keluarga dan undangan yang hadir. Adapun pemotongan kerbau ini nanti pada hari pelaksanaan upacara.
  2. Noumpu Sapo (menyambung rumah) biasanya bagi rumah yang kecil yang memungkinkan tidak dapat menampung dari semua anggota keluarga dan undangan yang hadir, maka biasanya dilaksanakan penyambungan rumah yang disebut noumpu sapo. Noumpu sapo ini biasanya dilaksanakan sehari atau dua hari sebelum acara puncak yang dikerjakan secara gotong-royong oleh keluarga yang hadir
  3. Neinda pakakasa (meminjam peralatan pesta upacara) untuk melengkapi alat-alat dapur dan alat rumah yang tidak mencukupi, biasanya anggota keluarga melaksanakan peminjaman berupa piring, gelas, tikar, dan sebagainya. Peminjanian ini dilakukan dua hari atau tiga hari sebelumnya.
  4. Membuat songi (tempat khusu anak-anak yang diupacarakan). Yang dimaksud dengan songi ialah tempat toniasa untuk bermalam selama tiga hari tiga malam di mana toniasa tidak diperkenankan keluar. Songi ini dibuat dalam bentuk rumah yang berukuran 2 x 2 meter. Songi ini terbuat dari balaroa (kayu waru) yang digunakan sebagai tiangnya, mesa 7 lembar sebagai kelambunya, ira ngaluku sebagai hiasan pinggir dari songi, tikar digunakan sebagai tempat tidur toniasa. Kaluku ngura (kelapa muda), dan banja mpangana (mayang pinang) sebagai pelengkap adat. Adapun kegiatan toniasa selama 3 hari 3 malam ialah sebagai berikut:
    • Nobada (memakai bedak) dengan maksud membersihkan kulit serta menyegarkan perasaan dalam ketiduran, karena selama itu mereka tidak pernah mandi.
    • Nokolontigi (membuat kuku merah dengan daun pacar) dengan: Noparamalunu = membuat bintang lunu di telapak tangan. Kadantokura = membuat bintik-bintik merah di pinggir telapak tangan.
    Adapun tinsur-unsur yang terkandung menurut adat pada ke giatan toniasa selama 3 hari 3 malam di songi ialah agar toniasa tidak dipenggaruhi oleh setan atau roh-roh yang jahat di samping toniasa itu mendapat umur panjang, mudah mendapat rezeki, pikiran tajam, dan sebagainya. Makanan toniasa dalam songi ini ialah nasi atau daging ayam, dan bila toniasa hendak makan maka dibunyikan gong dan gendang sebagai tanda/isya rat bahwa mereka diperkenankan makan.s
  5. Membuat paga (kamar kecil), Paga ialah ruang khusus tempat toniasa makan setelah selesai disunat. Paga ini digunakan sebagai tempat makan selama 3 bulan atau 30 hari saja, dalam satu sudut ruangan dalam rumah. Paga ini dibuat dalam bentuk persegi empat yang terdiri atas kain putih sebagai dindingnya dan volowan (bambu) sebagai tiangnya, di tempat inilah penyimpanan daging kerbau yang sudah dipotong.
  6. Membuat engga, yaitu seperangkat perlengkapan upacara yang terdiri atas 7 macam pisang dan 7 busung sagu. Engga ini dimaksudkan sebagai syarat dalam adat dan merupakan bahan perlengkapan upacara yang dibuat pada hari pelaksanaan upacara .Engga ini akan dilompati satu per satu disaat toniasa turun dari rumah yang lengkap berpakaian adat.
  7. Mengumpulkan Jajaka. Jajaka ialah kumpulan dari 7 jenis bahan yang terdiri atas dula 1 biji, beras 1 liter, baulu 1 potong, pinang 1 biji, pita dan jarum masing-masing 1 biji, pisang 1 sisir, daun kelapa 1 biji. Dari ke 7 bahan ini akan disimpan pada bagian pusat rumah (ruang tengah) yang gunanya sebagai syarat dalam melaksanakan upacara adat. Apabila ke 7 jenis bahan ini tidak diikutkan dalam suatu upacara berupa nosuna akan merupakan pantangan atau setidak-tidaknya keselamatan anak akan terganggu misalnya cacat atau istilah Kaili dalam adat ialah Nasalavati.
  8. Menyediakan Tavumbuli, merupakan kumpulan dari bahan jenis ladi (pisau), kadombuku, siranindi (dalun si tawar dingin), salisi (rambut kepala), susu koli (sepotong kayu yang kecil dan bulat), kaca (gelas), uwe (air). Tumunbuli ini dimaksudkan sebagai simbol dari upacara yang memiliki nilai maggis religius.
  9. menyiapkan makanan kainonuvelo. Gurenta terbuat dari kenari adalah jenis makanan sampingan dari toniasa. Jenis makanan yang dimaksud ialah jalaja, sisuru, kiskis, dan sebagainya. Jenis makanan tersebut (gurenta) disimpan di rumah dan dimakan setelah saat upacara nosuna dilaksanakan.
  10. Menyiapkan makanan kainonuvule vang disebut papasa. Papasa ialah makanan inonuvelo (perempuan yang memimpin upacara adat) yang terdiri atas nasi 1 piring, sayulr ayam, kkatupa (ketupat), kalopa (semacam ketupat tetapi berbentuk panjang). Papasa atau keempat jenis makanan yang dimaksud di atas dipersiapkan untuk inovunelo dan merupakan pemberian dari ke luarga toniasa.
  11. Lanjara. Lanjara ini dimaksudkan adalah satu tangga khusus tempat turunnya toniasa pada saat turun dari rumah. Ada dua lanjara, yaitu lanjara untuk naik dan lanjara untuk turun. Lanjara ini terbuat dari bahan-bahan seperti volombulava (bambu emas) dan iranggaluku (daun kelapa).
Penyelenggaran Teknis dan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara
Adapun pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan upacara nonusa ini, yaitu orang tua adat/inonuvelo dari seorang perempuan (ibu), yang berperan sebagai pemimpin upacara adat tersebut; keluarga yang melaksanakan upacara sebagai pendukung upacara tersebut. Sebelum memasuki acara ini pertama-tama disiapkan lebih dahulu alat-alat vati atau adat, yaitu pakakasa toposuna (alat tukang sunat), yaitu ladi (pisau) gunanya sebagai alat pemotong dan poupi (penjepit) untuk menjepit ujung/kulit kelamin (poupi tompo nulasu).
Perlengkapan Untuk Toniasa
Perlengkapan untuk toniasa adalah sebagai berikut:
  • Mundu iramputi (ujung daun pisang) gunanya untuk mendinginkan
  • Kepala kerbau (sekarang kelapa) gunanya untuk tempat duduk toniasa
  • Tubu (mangkok) gunanya untuk tempat menampung darah luka khitan
  • Ntalu (tekur) gunanya untuk menyegarkan perasaan toniasa agar tidak terasa sakit setelah dikhitan
  • Irampangana (daun pinang) gunanya untuk alas kaki dalam perjalanan toniasa
  • Pebelati (alat perhiasan toniasa), yaitu kawari, pawala, ponto, lola, sareva, sinara, kono, sopa, songkok, nuya.
  • Gong dan gendang
  • Kelapa (selesai dikupas), gunanya untulc alat peposoki menyiram dengan membelah kelapa
  • Vase, pamanu, silaguri, dan iranggamonji gunanya untuk tempat alas kaki pada waktu turun pertama
Perlengkapan Tadulako yang terdiri atas kaliavo (perisai) guna nya untuk menangkis, tampi (parang) gunanya sebagai pemotong, dan tandu (tanduk) sebagai perhiasan.
Jalannya Upacara Nostina
Setelah bahan tersebut di atas telah lengkap disediakan, maka dimulailah upacara nosuna. Upacara ini dimulai dengan nosungge songi, dengan alatnya kalopa. Suatu isyarat bahwa toniasa (anak-anak yang diupacarakan) dalam songi akan diberangkatkan ke air bersama-sama dengan orang tua adat, ino nuvelo dan keluarga toniasa. Kemudian toniasa turun dari rumah melalui lanjara (Lanjara adalah tangga yang dibuat khusus dari bambu emas sebanyak 2 (dua) buah, masing-masing tangga naik dan tangga turun khusus bagi para toniasa) pertama dan sesampai di tanah dipersilahkan berdiri di atas vase (kapak), pamanu (sejenis rumput), silaguri, dan daun sukun (ira kamonji). Keempat macam ini diinjak oleh toniasa kemudian inonuvelo nompa ganeka toniasa (mengucapkan harapan dan doa) sebagai berikut:
  • Sanggani rai madoyo - satu kali tidak melakukan kenakalan
  • Ruanggani rai madoyo - kedua kali tidak melakukan kenakalan
  • Talunggani rai madoyo - ketiga kali tidak melakukan kenakalan
  • Patanggani napatoraka doyo - keempat kali hilang semua kekanakalannya
  • Alima melinja ntanina - kelima sudah berpindah ke tempat yang lain
  • Aono maondo sule - keenam sudah menyenangkan hati
  • Papitu malampeo - ketuju, sudah menjadi orang baik
Gane (mantera) tersebut di atas merupakan doa keselamatan yang diucapkan pada toniasa agar tidak mengalami cacat. Bila toniasa telah mobonggo (merendam dalam air selama setengah hari) dan orang tua adat serta inonuvelo beserta keluarga datang mengambilnya di sungai maka pertama-tama yang dilakukan oleli orang tua adat ialah nopeposoki kaluku di atas kepala toniasa sambil nogane (membaca sastra suci) yang berbunyi:
  • rai yaku mpeposoki umurumu rasaina kuposoki doyo (aku tidak membela/memotong umurmu, tetapi memotong kejahatan-kejahatan)
  • raimo makakata (tidak akan berpenyakit kulit/kudis)
  • raimo mabongo (tidak akan menjadi tuli)
  • raimo mageri (tidak akan berpenyakit banyak tai mata)
  • raimo makaba (tidak lagi kena penyakit infeksi kulit)
  • raimo marungga (tidak lagi banyak luka-luka di kepala)
  • raimo pakamata (tidak lagi sakit mata)
Setelah selesai nigane (membaca ungkapan-ungkapan tersebut di atas), maka toniasa nipasaka vuya palaeka (diberi pakaian sarung) dan baju biasa serta songko. Toniasa diberangkatkan ke rumah dengan cara niponda (diusung). Sepanjang jalan yang akan dilalui toniasa dilemparkan daun pinang sebanyak 7 pelepah sebagai alas kaki agar tidak menginjak tanah bagi orang yang memikulnya. Dalam perjalanan ini toniasa diiringi dengan bunyi gong dan gendang yang dijemput pula oleh tadulako atau kabasara dengan membawa persiapan-persiapan seperti yang tertera pada bagian ketiga perlengkapan.
Sesampainya di halaman rumah toniasa sementara niponda mengelilingi rumah selama tiga putaran. Menurut adat kepercayaan masyarakat, maksud dari mengelilingi rumah ialah menghargai orang tua yang ada dalam rumah atau semua keluarga yang turut berpartisipasi dalam mensukseskan jalannya upacara nosuna tersebut. Kemudian setelah toniasa turun dari bahu, maka toniasa diajak naik ke rumah dengan melalui lanjara ke 2 yang telah disediakan sebelumnya.
Setelah sampai dalam rumah toniasa dipersilalikan duduk dan inoizuvelo nopaswigge (membuka) papasa dengan pisau (ladi) dan aluta (potong kayti bakar), kemudian toniasa nibeloti (dihiasai) oleli iizonuvelo dengan alat-alat perhiasan seperti sinara, lola, kawari, velo komo, dan sopa serta ekor kerbau .
Apabila telah siap toniasa dipersilahkan turun ke tanah dengan melalui lanjara yang pertama. Sesampainya di tanah, toniasa harus melompati engga secara satu per satu, yang sudah dijajarkan sebelum turun toniasa dari rumah. Kemudian toposesde (pemimpin nyanyian suci) memerintahkan toniasa memegang rabinjoke lalu toposede menusuk dengan pisau sedikit untuk itu digosokkan bagian kepala (dahi) dengan maksud agar kesehatan toniasa tetap sehat dan tajam pemikirannya serta mempunyai kesadaran dan ketabahan. Setelah itu toposede melanjutkan acara nosede (melagukan nyanyian adat) dengan lagu dumpa gorigi dumpa balolugi, sampai dengan lagu tersebut selesai. Setelah itu toniasa dipersilahkan naik ke rumah melalui lanjara (tangga adat) kedua yang dipersiapkan khusus untuk toniasa tersebut.
Kemudian yang merupakan acara puncak pelaksanaari upacara nosuna, sebelum nosuna, toniasa dipersilakan membuka sebagian pakaian, kecuali lola, kavari, toporame (ketua adat penyelenggara khitan) bersiap-siap untuk berdiri sambil menggigit pisau dengan memakai susukoli sebagai tongkatnya. Sebelum toporame memgikat pita di leher toniasa yang akan disunat tersebut.
Setelah sampai pada acara puncak, maka toniasa mengambil tempat duduk penyutan yaitu duduk di atas kepala kerbau yang sudah disembelih (sekarang memakai kelapa muda karena sukarnya menemukan dan mencari kepala kerbau) yang dilapisi dengan daun pisang. Apabila toniasa telah duduk, berarti tanda akan dimulainya upacara ini. Selanjutnya toposuna (penyunat) mengambil alatnya yaitu poupi (penjepit) dan ladi (pisau) dan menempatkan tubu dalam posisi yang terletak di bagian bawah anak, maka dimulailah pemotongan kulit (kulit depan kelamin laki-laki), setelah penjepit dibuka maka telur yang disediakan diteteskan pada kelamin atau bagiannya yang telah dipotong untuk digunakan sebagai obat.
Setelah nosuna selesai, toporame yang berdiri dengan menggigit pisau tadi meletakkan.pisau di atas kepala sambil menekannya dengan maksud agar pemikiran anak tajam dan cerdas, menguatkan semangat dan bergairah serta tidak mudah dihinggapi suatu penyakit. Setelah acara norame selesai toniasa diangkat ke tempat tidur yang telah disediakan untuk beristirahat dengan memakai sarung panjang yang berwarna kuning. Bagian tengah kain, diikat dengan tali dan digantung agar sarung tersebut tidak menyentuh luka khitan.
Pantangan-pantangan dan Alasannya
Setelah selesai pelakasanaan upacara nosuna orang tua atau siposede menuturkan beberapa pantangan-pantangan, yaitu:
  • Bagi kaum wanita atau gadis yang bekerja dalam pelaksanaan upacara tidak diperkenakan melihat alat kelamin toniasa yang disunat dengan alasan agar pendarahan dapat berkurang
  • Anak yang disunat belum diperkenankan memakai celana, alasannya menjaga pendarahan yang timbul
  • Anak atau toniasa tidak diperkenankan memakan pisang yang disediakan pada acara engga yang dilompati oleh toniasa tadi karena apabila anak tersebut memakan pisang yang dimaksud dapat mengakibatkan infeksi, pendarahan cukup banyak, dan sebagainya.
Lambang-lambang atau Simbol-simbol dan Makna yang Terkandung di dalamnya
Selama pelaksanaan upacara berlangsung, keluarga toniasa telah menggunakan lambang-lambang pada hampir semua jalannya upacara nosuna. Lambang-lambang atau simbol-simbol tersebut adalah berupa:
  1. Ula-ula atau kain yang dibuat berupa manusia sebanyak dua macam, yaitu masing-masing berwarna putih dan kuning. Adapun makna yang terkandung pada simbol-simbol tersebut ialah bahwa dengan memakai simbol yang berwarna putih menggambarkan tentang kesucian daripada anggota keluarga toniasa, sedangkan simbol warna kuning melambangkan keemasan dan kebangsawan bagi pelaksana upacara tersebut.
  2. Beras adalah simbol kebutuhan manusia, yang mengandung arti toniasa dapat memberi manfaat sebesar-besarnya dalam kehidupannya kelak di kemudian hari
  3. Gula merah adalah lambang kemanisan hidup, yang berarti agar toniasa menjadi orang beragama yang tulus dengan hati yang suci dan kemanusiaan jiwa dan tingkah laku
  4. Lilin adalah simbol penerangan yang berarti suatu harapan agar toniasa di kemudian liari terang hatinya dan dapat menerangi kehidupan masyarakat sekitarnya
  5. Benang adalah lambang tali pengikat hubungan orang tua dengan anak
  6. Warna kuning yang menjadi bahan pakaian/sarung dan sebagainya suatu tanda kebesaran dan tanda bahwa toniasa adalah keturunan madika (raja).