Welcome to our site

welcome text --- Nam sed nisl justo. Duis ornare nulla at lectus varius sodales quis non eros. Proin sollicitudin tincidunt augue eu pharetra. Nulla nec magna mi, eget volutpat augue. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent per conubia nostra, per inceptos himenaeos. Integer tincidunt iaculis risus, non placerat arcu molestie in.

TAMAN WISATA ALAM AIR TERJUN WERA ,Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah

Kamis, 24 Februari 2011


air terjun wera 1. STATUS
Taman Wisata Wera berdasarkan Sk. Menteri Pertanian No. 843/Kpts/Um/11/1980 tanggal 11 Januari 1980 dengan luas ± 250 hA. Kawasan ini termasuk dalam kelompok hutan Wera (hutan lindung Wera) dan memilik potensi wisata yang besar berupa panorama alam yang indah dan Air Terjun Wera,

2. FISIK
Letak
menurut administrasi pemerintahan termasuk di dalam wilayah Desa Balumpewa, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah.
Geografis
secara geografis kawasan Taman Wisata Wera terletak antara 1°2′-1°3′ LS dan antara 119° 50′ – 119° 51′ BT,

Batas Kawasan
Batas sebelah Utara : Daerah perbukitan sepanjang wilayah Dusun Ngatapapu.
Batas sebelah Timur : Batas Hutan Lindung Wera yang berbatasan langsung dengan lokasi Asrama Yayasan Misi Masyarakat di Pedalaman (YMMP).
Batas sebelah Barat : Dusun Ngatapapu memotong hulu Sungai Wera.
Batas sebelah Selatan : Kawasan hutan perbukitan sebelah selatan sungai Wera.

Topografi :
Wilayah Sulawesi Tengah sebagian besar merupakan Daerah pegunungan dan perbukitan diselingi oleh lembah-lembah, sungai dan dataran tinggi. Kawasan Taman Wisata Wera sebagian besar merupakan daerah perbukitan dengan kondisi topografi pada umumnya berlereng sampai terjal dengan kemiringan antgara 60% s/d 95% terdapat lembah yang sempit yang merupakan aliran sungai Wera yang agak datar terdapat pada bagian bawah disekitar desa Balumpewa dengan ketinggian dari permukaan laut 150 m s/d 800 m dpl.

Geologi dan Tanah
air terjun wera sigiBerdasarkan Peta Geologi Indonesia dari Direktorat Geologi Indonesia (1965) dan peta Tanah Tinjau LPT (1966), formasi geologi Taman Wisata Wera termasuk batuan sedimen marin, aluvium induk dan terumbu koral. Jenis tanahnya : alluvial dan potselik dengan bahan endapan musolium tanah cukup dalam, tekstur lempung sampai liat, sering berlapis-lapis debu dan pasir.

Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim dari Schmidt dan Ferguson kawasan Taman Wisata Wera termasuk dalam tipe B, dengan nilai Q= 0,213. dengan curah hujan rata-rata setahun 1.589 mm/tahun.

Hidrologi
Kawasan Taman Wisata Wera ini dialiri oleh satu sungai utama yaityu sungai Wera, Pada bagian hulu terdapat dua buah anak sungai yang mengalir masuk dan membentuk sungai Wera. Sungai ini mengalir melalui celah yang terjal pada celah-celah perbukitan yang curam dan membentuk jeram (terjunan) setinggi ± 80 m. Pada bagian bawah yang agak datar sungai Wera mengalir ke arah Timur ke Desa Kaleke dan sekitarnya. Karena melalui aliran yang terjal dan berbatu-batu, sungai ini tidak begitu lebar (hanya sekitar 2-3 m) dengan kedalaman kurang dari 50 cm.

3. BIOLOGI
Potensi Flora
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan hasil inventarisasi flora dan fauna yang pernah dilaksanakan sebelumnya, kawasan Taman Wisata Wera ini termasuk daerah yang kritis dengan lereng yang curam serta labil dengan kondisi vegetasi penutup tanah yang relatif kecil: sebagian besar permukaan tanah ditumbuhi padang rumput dan semak-semak/hutan sekunder. Bagian yang agak nerhutan terdapat pada celah bukit dan lembah disekitar sungai Wera. Keadaan vegetasi di kawasan ini relatif jarang terutama dari kondisi hutan yang sebagian besar semak belukar dan hutan sekunder (Tua).
Hanya pada bagian lereng yang terjal pada sekitar 50 – 100 m pada kiri kanan alur sungai yang masih tertutup hutan yang utuh, termasuk pada bagian hulu yang kondisi medannya juga terjal. Hal ini menyebabkan sampai saat ini aliran sungai Wera relatif masih baik dan mengalir sepajang tahun, karena baik alirannya maupun daerah tangkapan air di daerah hulu relatif masih baik (karena kondisi alam yang sulit sehingga tidak dapat dirambah/diganggu). Walaupun demikian, pada bagian lain relatif datar (pada gunung dan puncak bukit) kondisi hutannya sudah terganggu. Hal ini disebabkan adanya kegiatan masyarakat yang telah lama bermukim di sekitar kawasan yang masih mempraktekkan perladangan berpindah yaitu masyarakat Dusun Kaluku Tinggu dan dari desa Balumpewa yang masih membuka ladang pada daerah perbukitan di sekitarkawasan Taman Wisata ini.
Kondisi pada bagian timur sungai Wera sebagian besar ditumbuhi vegetasi rumput ( ± 80 % ) dan lainnya adalah semak belukar. Pada bagian barat kawasan lebih banyak ditemui hutan sekunder ( 90 % ) dan pada bagian kiri kanan sungai Wera kondisi hutannya masih baik.
Jenis pohon yang mendominasi kawasan Taman Wisata Wera masing-masing adalah : Avicenia marina, Drypetes sp., Semecarpus sp., Pterospermum ferrugineum, Litsea sp. dan Dracontomelon mangiferrumn. Selain itu pada bagian Utara kawasan yang sudah terbuka, telah ditanami jenis pohon pinus (Pinus merkussi) dalam upaya reboisasi lahan kritis di daerah perbukitan yang mulai gundul.

Potensi Fauna
weraJenis satwa yang dapat dijumpai di kawasan Taman Wisata Wera relatif sedikit, hanya beberapa jenis mamalia, aves dan serangga yaitu antara lain : Monyet hitam Sulawesi (Macaca tonkeana), Kus-kus (Phalanger ursinus), Tarsius (Tarsius spectrum), Burung kasuari, Gagak (Aceros cassidix), Ayam hutan (Gallus-gallus) dan beberapa jenis kupu-kupu.
Keberadaan satwa yang relatif kurang ini disebabkan oleh kondisi habitat yang sudah terganggu dan gangguan masyarakat sekitar yang masih berburu dan melintasi kawasan ini.

4. WISATA
Potensi Obyek Wisata
Obyek wisata di Taman Wisata Wera yang menarik diantaranya ; menikmati panorama air terjun Wera yang dapat dilihat dari dua sisi yaitu wera atas (puncak) dan dari bawah (tempat jatuhnya air). Air terjun Wera dengan ketinggian terjunan ± 80 m dengan kemiringan terjun antara 70° – 80° manakala kita berada disekitar tempat jatuhnya air menyuguhkan pemandangan yang indah. Selain itu atraksi Hiking (mendaki gunung) dari arah Utara batas kawasan ke puncak bukit sebelah Barat. Pada umumnyha obyek wisata sesuai potensi yang dimiliki di kawasan Taman Wisata Wera ini masih baik bahkan dapat dikatakan masih alamiah.

5. PENGELOLAAN
Aksesibilitas
Kawasan Taman Wisata Wera terletak ± 20 km sebelah selatan Kota Palu, Kawasan ini relatif dekat dan mudah dijangkau karena telah ada jalan raya beraspal yang menghubungkan Kota Palu dengan desa-desa disekitarnya. Untuk mencapai kawasan ini pengunjung dapat naik kendaraan umum (minibus) dari Terminal Petobo Palu, atau kendaraan pribadi dengan rute:  Palu – Rarampadende – Balumpewa) perjalanan ke lokasi ini hanya membutuhkan waktu ± 30 menit.

"DANAU POSO, RIWAYATMU DULU..."



Panorama Danau Poso yang Indah

“Dulu Danau Poso, begitu banyak ikannya. Saya masih ingat, apabila ada saudara dari jauh datang bertamu ke rumah, seberapapun banyaknya tamu yang datang kami tak pernah khawatir menjamunya,. Hanya dalam waktu tak lebih dari satu jam memancing di Danau Poso, saya sudah dapat mengumpulkan Ikan Bungu sebanyak satu kantung plastik besar. Tapi sekarang…ikan ikan di Danau Poso ini, entah kemana perginya…. Ungkap salah seorang warga Tonusu Kecamatan Pamona Utara


Selain panoramanya yang indah, Danau Poso juga kaya akan keanekaragaman hayati, yang menjadi sumber protein masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Poso. Namun saying, kini Ikan-ikan di danau Poso, semakin sulit didapatkan. Bahkan ironisnya, beberapa jenis ikan habitat asli Danau Poso, kini telah punah. Beberapa jenis ikan yang telah punah tersebut seperti, Ikan Bungu, Ikan Bontinge, kini telah benar-benar sulit ditemukan di danau Poso. Padahal kedua jenis ikan ini, sangat lesat dan bernilai gisi yang sangat tinggi. Selain itu, jenis ikan ini, mudah ditangkap.
Banyak kalangan berpendapat bahwa punahnya beberapa jenis ikan asli Danau Poso diakibatkan oleh beberapa hal; Pertama, ada yang berpendapat bahwa ketika Gunung Colo, di Kepulauan Togean meletus pada tahun 1983 yang lampau, beberapa jenis ikan asli Danau Poso, seperti ikan Bungu dan Ikan Bontinge, tiba-tiba hilang entah kemana. Kedua, Punahnya ikan asli Danau Poso, diakibatkan oleh ketamakan manusia yang menangkap ikan dengan cara penggunaan pukat damper, atau bahkan menggunakan setrum. Tak tanggung, sterum yang digunakan pun memnggunakan genset. Ketiga, penggunaan pestisida dan herbisida dan atau pupuk kimia, dalam system pertanian disekitar Danau Poso, telah melebihi ambang batas, yang kemudian memusnahkan habitat asli. Keempat, didatangkannya ikan-ikan dari luar yang cenderung menjadi predator bagi ikan-ikan asli Danau Poso. Beberapa pendapat yang muncul dikalangan masyarakat, yang menyebabkan punahnya habitat asli Danau Poso tersebut, patutlah menjadi perhatian kita semua, untuk mengantisipasi rusaknya ekosistem Danau Poso, sehingga ancaman bencana ekologi dapat kita antisipasi.
Pemernitah Kabupaten Poso, telah menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Poso, Nomor : 8 Tahun 2006, Tentang Daerah Aliran Sungai Dan Danau, secara tegas melarang kegiatan beberapa hal seperti; a)Membuang sampah domestik, baik yang bersifat organic maupun anorganik; b)Membuang sampah industri, limbah padat dan limbah cair; c)Membuang tinja; d)Melakukan pengemboman, pembiusan dan/atau penyetruman; e)Membuka dan/atau menggunakan lahan untuk perkebunan; f)Menggunakan alat tangkap pukat damper; g)Menggunakan alat tangkap jaring yang berdiameter kurang dari 2 (dua) inci; h)Menginteduksi jenis ikan dan tanaman tertentu yang membahayakan habitat lain; i)Melakukan kegiatan peternakan; j)Mengembangkan suatu tanaman tertentu yang dapat membahayakan okosistem di daerah aliran sungai dan danau; k)Menggunakan pestisida secara berlebihan; dan l)Melakukan kegiatan pertambangan galian C tanpa ijin.

Perda Tentang Daerah Aliran Sungai Dan Danau yang diterbitkan oleh Pemerintah Poso, sesungguhnya merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melindungi ekosistem danau. Namun sayangnya, penerapan Perda ini terkesan tak pernah serius diterapkan. Dan bahkan, Perda ini tak pernah tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat.

Kita tentunya sangat berharap, kiranya Danau Poso yang indah dan kaya ini, akan dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat yang tinggal disekitar danau. Dan tentu saja kita sebagai generasi yang ada saat ini, harus benar-benar bertanggungjawab menjaga dan melestarikan keberadaan Danau Poso, agar kita tak akan disalahkan generasi yang akan datang. Karena bumi tempat kita berpijak, merupakan titipan generasi kita yang akan datang. Sehingga kita harus bertanggungjawab, bumi ini tak akan mendatangkan bencana pada anak cucu kita.

Rono Dange, Kuliner Ikan Teri dari Palu

Minggu, 20 Februari 2011

Rono Dangeeee…Rono Dangeeee…, teriak Ahmad Yani, seorang penjual ikan keliling dari perumahan ke perumahan di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Yani tidak sendiri. Banyak pedagag serupa berkeliling saban hari, pagi hingga siang. Mereka umumnya ibu-ibu. Mereka berjalan kaki, memikul ember atau bakul berisi lempengan rono dange. Ada juga yang menjualnya dengan rono mentah dan jenis ikan lainnya.
Para penjual itu menelusuri jalan-jalan di sejumlah kompleks perumahan dalam dan luar kota Palu. Tak kenal waktu, di bulan Ramadhan pun mereka tetap menjual meski melawan terik matahari.
Rono dange adalah ciri khas kuliner masyarakat Kaili di Palu maupun di perantauan. Rono dange adalah ikan teri yang dibungkus daun pisang lalu dipanggang.
Rono dan dange, adalah dua suku kata dari bahasa Kaili. Rono artinya ikan teri. Dange artinya sagu panggang. Disebut rono dange karena ikan yang dibungkus daun pisang itu dipanggang di atas tungku seperti halnya memanggang sagu.
Selain rono dange, kuliner ini juga disebut rono tapa atau teri panggang. Tapi masyarakat lebih mengenalnya dengan rono dange.
Rono dange melahirkan aroma dan rasa yang khas ikan teri karena selain di panggang dalam daun pisang, ikannya juga tidak mendapat perlakuan apapun sehingga bebas dari bumbu masakan.
“Isinya murni ikan teri. Saya biasanya hanya menambah sedikit garam lalu dipanggang,” kata Yani, seorang penjual keliling dari Desa Kabonga, kurang lebih 30 kilometer arah utara kota Palu.
Rono dange selebar telapak tangan orang dewasa biasanya dijual Rp5.000 per tiga bungkus. Yani menjualnya, Rp5.000 per empat bungkus. Untuk mendapatkan rasa yang lebih, konsumen biasanya menambahi jeruk nipis dan cabe kecil. “Bagus juga digoreng ditambah bumbu yang lain,” kata Yani.
Rono dange bisa bertahan hingga dua hari. Jika sudah dingin, boleh dipanggang kembali sekadar memanaskan saja. “Tapi rasanya tidak seenak saat sebelum dipanaskan,” kata ibu Wati, seorang ibu rumah tangga.

Buah Trampil Ibu-ibu
Rono dange masih sangat kental di masyarakat Palu khususnya masyarakat Kaili. Hampir sepanjang pesisir pantai Palu dan Donggala memproduksi rono dange, tetapi basis rono dange atau rono tapa paling banyak di jumpai di wilayah pesisir pantai barat, Kabupaten Donggala.
Sebarannya mulai dari Tawaeli, Toaya, Enu bahkan sampai di Lero. Produk paling dikenal dan banyak dijual pedagang keliling berasal dari Lero.
Rono dange banyak menyedot tenaga kerja dari ibu-ibu rumah tangga nelayan. Saat suami dan anak-anak mereka pergi melaut, ibu-ibu rumah tanggalah yang menyiapkan diri mengurus dan mengolah rono dange itu.
Menurut Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Sulteng, sarana pengolahan rono dange masih amat sederhana, dimana dalam satu unit rumah pengasapan biasanya terdiri dari dua tungku pengasapan.
Rumah pengasapan yang dibuat pun sangat sederhana. Tanpa dinding dan hanya beratap rumbia. Sementara tungku hanya terbuat dari batu dan besi berbentuk lembaran (plat). Dari rumah pengasapan yang sederhana inilah keluar produk rono dange atau rono tapa yang sangat digemari oleh hampir semua masyarakat Kaili di Sulteng maupun masyarakat Kaili yang berada di perantauan.
Unit Pengolahan Ikan (UPI) patapa rono di Lero lebih dari 100 unit. Sebanyak 80 unit di Desa Lero Tatari, dan 27 unit di Desa Lero.

Sajian Sese Gampaya dipadu dengan ikan Bayaba Bakar Kuliner Kaili Sulawesi Tengah



Bahan :Bunga pepaya segar, daun paku muda250 cc santan kelapa g aram secukupnya dihaluskan :10 buah cabe rawit 2 buah lombok keriting1 ons kemiri  5 siung bawang merah 5 siung bawang putih1 ruas jahe Cara membuat :Bunga pepaya direbus, daun paku direbus masukkan garam, bila bunga pepaya  dan daun paku sudah layu angkat dan tiriskan,bumbu ditumis dengan sedikit minyak kelapa, tuangkan santan sambil diaduk-aduk,bila santan sudah mengeluarkan sedikit minyak masukkan bunga pepaya dan daun paku sambil terus diaduk,angkat dan siap disajikan..
Ikan Bayaba segar diBakar, berikan sambal rica yg telah jadi secukupnya.
Sajikan bersama Sese Gampaya.. 
Menu yang menyegarkan untuk makan siang Anda...

KAKULA Musik Etnik Suku Kaili Sulawesi Tengah

Jumat, 18 Februari 2011


kakulaInstrumen ini dimainkan oleh masyarakat suku Kaili—suku asli di Sulawesi Tengah. Selain di Sulawesi Tengah, instrument ini dapat pula ditemukan di Sulawesi Utara (Bolaang Mongondow), Kalimantan, Sumatra, Maluku, Sabah dan Serawak Malaysia dan Brunai Darussalam. Musik Kakula yang kita kenal sebagai salah satu seni musik tradisional suku Kaili khususnya dan masyarakat Sulawesi Tengah pada umumnya sudah sangat sukar menentukan kapan mulai dikenal oleh masyarakat di daerah ini.
Pada tahun 1618 agama Islam masuk di daerah ini dengan membawa serta pula kebudayaannya. Mengikuti penyebar-penyebar Islam ini sebagai alat pendukung dakwah, mereka membawa serta alat musik yang terbuat dari tembaga/kuningan yang sekarang ini kita kenal dengan Musik Kakula. Alat musik tersebut berbentuk bulat dan pada bagian tengalmya muncul atau munjung, sama dengan bonang di Pulau Jawa.
Sejarah Kehidupan Musik Kakula Namun jauh sebelum alat musik ini masuk, daerah ini sudah mengenal alat musik yang terbuat dari kayu yang pipih dengan panjang kira-kira 60 cm dan tebal 2 cm serta lebar 5 sampai 6 cm disesuaikan dengan nada. Alat musik tersebut juga sering mereka katakan sebagai gamba-gamba. Gamba-gamba kayu adalah salah satu bentuk embrio atau awal dari musik kakula karena nada yang ada pada musik kakula yang terbuat dari tembaga/kuningan persis dengan nada yang ada pada gamba-gamba atau Musik Kakula Kayu. Masyarakat Sulawesi Tengah yang kita kenal sebagai masyarakat agraris karena sebagian besar penduduk Sulawesi Tengah hidup dari pertanian. Masyarakat itulah pemilik Musik Kakula atau Gamba-gamba kayu tadi.
Perkembangan Musik Kakula Bapak Alm. Hasan M. Bahasyuan adalah seorang seniman musik kakula tradisi (pemain) disamping sebagai pemain musik juga sebagai pencipta tari. Setelah beberapa tarinya berhasil diiringi oleh seperangkat alat musik kakula yang masih pentatonis, terdiri dari tujuh buah kakula dengan nada masing-masing la, do, re, mi, sol, la, si, do, 6 1 2 3 5 6 7 1

Bahasa Kaili di Ambang Kepunahan

 
 
 



Suku Kaili merupakan penduduk terbesar di Sulawesi Tengah (Sulteng), namun bahasa ibu mereka kian jarang terdengar dalam pergaulan sehari-hari.

Ucapan salam "Nuapa kareba?", yang berarti "Apa kabar?", dan biasanya dijawab dengan "Kareba nabelo" atau "Kabar baik" jarang terdengar. Bukan hanya di ibukota provinsi itu, Palu, tapi juga di banyak wilayah lain.

Ada kecenderungan, orang Kaili mengenyampingkan bahasa ibu mereka dan memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.

Bahasa Kaili pun hanya menjadi sisipan di dalam Bahasa Indonesia yang mereka praktikkan, bukan sebaliknya.

Itu juga kerap didapati pada keluarga bersuku Kaili yang tinggal di pinggiran Kota Palu.

"Sejak kecil, orang tua saya selalu menggunakan Bahasa Indonesia saat berbicara dengan saya atau dengan anggota keluarga lainnya," ungkap Adam (28), pemuda asli Kaili yang mengaku sangat sedikit memahami bahasa sukunya.

"Bagaimana bisa berbahasa Kaili, jika setiap hari terus bertemu dengan orang yang selalu berbahasa Indonesia. Saya hanya memahami Bahasa Kaili secara pasif," katanya.

Warga yang keturunan suku Kaili di provinsi itu mencapai 40 persen dari total penduduk yang berjumlah 2,6 juta jiwa.

Menurut antropolog Prof. Sulaiman Mamar, Bahasa Kaili kini memang terancam punah karena peminggiran struktural yang terjadi dalam masyarakat Sulteng.

Generasi muda Kaili secara perlahan tapi pasti, mulai melepaskan penggunaan bahasa ibunya dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, peminggiran bahasa tersebut juga terjadi lewat diskriminasi pengambilan kebijakan pemerintah, di samping tidak adanya kemauan dari berbagai pihak untuk melahirkan kesepakatan dalam membentuk pembakuan ketatabahasaan Kaili.

Dia mengemukakan, ketiadaan media massa berbahasa Kaili merupakan salah satu penyebab mulai sirnanya bahasa itu.

"Media massa berbahasa daerah kini menghadapi banyak kendala serius, baik yang bersifat internal maupun eksternal," ujarnya.

Kendala internal antara lain manajemen yang lemah, sumber daya manusia yang kurang profesional, serta belum adanya wadah bersama yang menghimpun segenap potensi kedaerahan.

Sedangkan, ia menilai, kendala eksternalnya berupa semakin berkurangnya jumlah warga yang benar-benar mampu memahami bahasa asli daerahnya, terutama bahasa tulisan, yang tergolong bahasa baku, yang sebagian kosa katanya tidak dipergunakan lagi dalam pergaulan sehari-hari.
Hal itu, terutama sangat dirasakan atau dialami kaum muda yang lahir dan dibesarkan di kota-kota relatif besar seperti Palu, jelas Mamar.

Menurut dia, kendala lainnya adalah sangat langkanya pengusaha yang berinvestasi dalam dunia pers berbahasa daerah.

"Selain itu, kurangnya perhatian pemerintah, terutama Pemda Provinsi dan Kota/Kabupaten terhadap media massa berbahasa daerah, di samping kurangnya dukungan serius masyarakat yang berlatar belakang kultur Kaili, baik yang masih berdomisili di dalam maupun di luar Sulteng," ujarnya menambahkan.

Sementara itu, praktisi pendidikan dari Universitas Tadulako (Untad) di Palu, Dra. Nurhayati Ponulele, mengatakan bahwa salah satu cara yang ditempuh untuk mempertahankan keberadaan Bahasa Kaili adalah dengan pengajaran dan pembinaan bahasa dan sastra Kaili di sekolah-sekolah melalui muatan lokal.

Sebagai langkah awal, ia mengusulkan, program yang akan dijalankan pada tahun 2007 ini hanya akan diberlakukan pada sekolah dasar, mulai kelas empat hingga kelas enam.

Ponulele mengemukakan, saat ini sedang berusaha meluruskan konflik permasalahan Bahasa Kaili, seperti penentuan dialek Kaili yang akan digunakan dalam pengajaran.

Penentuan dialek itu akan menjadi persoalan rumit, karena setidaknya, saat ini, terdapat sebanyak 13 dialek, bahkan ada yang menyebut terdapat 36 dialek.

Menurut Nurhayati, pemilihan Bahasa Kaili yang digunakan sebaiknya mengacu pada tempat tinggal atau jenis Bahasa Kaili yang digunakan di daerah tertentu.

Tidak hanya itu, guru yang harus memperdalam bahasa Kaili hendaknya lulusan S1 Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. "Karena, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat," katanya.

Yang pasti, kata Nurhayati, Bahasa Kaili akan segera punah, jika tidak ada upaya-upaya serius untuk mempertahankannya.

Upaya mempertahankan Bahasa Kaili di tanah asalnya juga harus menghadapi kenyataan beragamnya suku yang kini bermukim di Sulawesi Tengah.

Setidak-tidaknya, menurut dia, kini terdapat sekitar 22 suku yang memiliki bahasa saling berbeda tinggal di Sulteng, sehingga mereka memerlukan bahasa yang mudah digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Itu tidak lain Bahasa Indonesia.

Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni transmigran asal Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, serta masyarakat Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur.

Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.600.000 jiwa, mayoritas beragama Islam, lainnya Kristen, Hindu, dan Budha.

Kuliner Kaili

Minggu, 13 Februari 2011

ImageUta Kelo/sayur kelor adalah sayur khas tanah kaili (sulawesi tengah), sesuai namanya sayur ini dibuat dari bahan utama daun kelor (moringa sp) dimasak santan dengan beberapa bahan tambahan lainnya. kota palu sangat identik dengan sayuran ini, berikut secara sederhana kami uraikan bahan dan cara pembuatan sayur kelor Bahan :
500 cc santan sekitar 2 buah kelapa
8 buah pisang kepok muda diiris
5 buah terung diris agak besar
irisan pucuk daun melinjo (bila ada)
1 ons udang halus basah/kering
10 buahcabe rawit (dihaluskan)
Daun kelor muda yang telah di pisahk dari tangkai daunnya secukupnya
penyedap rasa
Garam secukupnya

Cara membuat :
Santan dan cabe rawit dimasak hingga mendidih, kemudian masukkan garam dan pisang kepok, bila sudah mendidi masukkan daun kelor, daun melinjo,terung dan penyedap rasa lalu Aduk hingga merata, bila daun dan terung terlihat lemas dan matang sayur siap diangkat dan siap disajukan. selamat mencoba dan mencicipi.

dapat disajikan Untuk 10 orang.

Tentang Kaili

Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.
Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.


Sulawesi Tengah

Kamis, 10 Februari 2011


Sulawesi Tengah
—  Provinsi  —
Lambang Sulawesi Tengah
Lambang
Peta lokasi Sulawesi Tengah
Negara  Indonesia
Hari jadi 13 April 1964 (hari jadi)
Dasar hukum UU No. 13/1964
Ibu kota Palu
Koordinat 3º 30' LS - 1º 50' LU
119º 0' - 124º 20' BT
Pemerintahan
 - Gubernur Mayjen TNI (Purn). H. Bandjela Paliudju
 - Wakil Gubernur H. Achmad Yahya, S.E., M.B.A.
 - Sekretaris Daerah Kolonel (Purn). H. Gumyadi, S.H.
Luas
 - Total 68.089,83 km2 (26.289,6 sq mi)
Populasi (2010)[1]
 - Total 2.633.420
 - Kepadatan 38,7/km² (100,2/mil² )
Demografi
 - Suku bangsa Kaili (20%), Bugis (14%)
 - Agama Islam, Protestan, Katolik
 - Bahasa Bahasa Indonesia, Pamona, Mori, Kaili dan lain-lain
Zona waktu WITA
Kabupaten 9
Kota 1
Kecamatan 79
Desa/kelurahan 1.423
Lagu daerah Tananggu Kaili, Tondok Kadadingku, Rano Poso, Wita Mori
Situs web www.sulteng.go.id
Sulawesi Tengah adalah sebuah provinsi di Indonesia yang beribukotakan Palu.

Sejarah

Wilayah provinsi Sulawesi Tengah sebelum jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda merupakan sebuah Pemerintahan Kerajaan yang terdiri atas 15 kerajaan di bawah kepemimpinan para raja yang selanjutnya dalam sejarah Sulawesi Tengah dikenal dengan julukan Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat.
Semenjak tahun 1905, wilayah Sulawesi Tengah seluruhnya jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, dari Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat, kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan Landschap-landschap atau Pusat-pusat Pemerintahan Hindia Belanda yang meliputi, antara lain:
  1. Poso Lage di Poso
  2. Lore di Wianga
  3. Tojo di Ampana
  4. Pulau Una-una di Una-una
  5. Bungku di Bungku
  6. Mori di Kolonodale
  7. Banggai di Luwuk
  8. Parigi di Parigi
  9. Moutong di Tinombo
  10. Tawaeli di Tawaeli
  11. Banawa di Donggala
  12. Palu di Palu
  13. Sigi/Dolo di Biromaru
  14. Kulawi di Kulawi
  15. Tolitoli di Tolitoli
Dalam perkembangannya, ketika Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah tidak berkuasa lagi di Sulawesi Tengah serta seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat kemudian membagi wilayah Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga) bagian, yakni:
  1. Sulawesi Tengah bagian Barat, meliputi wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Pembagian wilayah ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi.
  2. Sulawesi Tengah bagian Tengah (Teluk Tomini), masuk Wilayah Karesidenan Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1919, seluruh Wilayah Sulawesi Tengah masuk Wilayah Karesidenen Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1940, Sulawesi Tengah dibagi menjadi 2 Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala yang meliputi Tujuh Onder Afdeeling dan Lima Belas Swapraja.
  3. Sulawesi Tengah bagian Timur (Teluk Tolo) masuk Wilayah Karesedenan Sulawesi Timur Bau-bau.
Tahun 1964 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 terbentuklah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Selanjutnya Pemerintah Pusat menetapkan Propinsi Sulawesi Tengah sebagai Provinsi yang otonom berdiri sendiri yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan selanjutnya tanggal pembentukan tersebut diperingati sebagai Hari Lahirnya Provinsi Sulawesi Tengah.
Dengan perkembangan Sistem Pemerintahan dan tutunan Masyarakat dalam era Reformasi yang menginginkan adanya pemekaran Wilayah menjadi Kabupaten, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali dan Banggai Kepulauan. Kemudian melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat terbentuk lagi 2 Kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Tojo Una-Una. Kini berdasarkan pemekaran wilayah kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 10 daerah, yaitu 9 kabupaten dan 1 kota.
Sulawesi Tengah juga memiliki beberapa sungai, diantaranya sungai Lariang yang terkenal sebagai arena arung jeram, sungai Gumbasa dan sungai Palu. Juga terdapat danau yang menjadi obyek wisata terkenal yakni Danau Poso dan Danau Lindu.
Sulawesi Tengah memiliki beberapa kawasan konservasi seperti suaka alam, suaka margasatwa dan hutan lindung yang memiliki keunikan flora dan fauna yang sekaligus menjadi obyek penelitian bagi para ilmuwan dan naturalis.
Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut.

Pemerintahan

Kabupaten dan Kota

No. Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Banggai Luwuk
2 Kabupaten Banggai Kepulauan Banggai
3 Kabupaten Buol Buol
4 Kabupaten Donggala Donggala
5 Kabupaten Morowali Bungku
6 Kabupaten Parigi Moutong Parigi
7 Kabupaten Poso Poso
8 Kabupaten Tojo Una-Una Ampana
9 Kabupaten Toli-Toli Toli-Toli
10 Kabupaten Sigi Sigi Biromaru
11 Kota Palu -

Daftar gubernur

No. Foto Nama Dari Sampai Keterangan
1.
Anwar Gelar Datuk Madjo Basa Nan Kuning 13 April 1964 13 April 1968  
2.
Kol. Mohammad Yasin 13 April 1968 April 1973  
3.
Brigjen Albertus Maruli Tambunan April 1973 28 September 1978  
4.
Brigjen Moenafri, SH 28 September 1978 22 Oktober 1979  
5.
Kol. R. H. Eddy Djadjang Djajaatmadja 22 Oktober 1979 22 Oktober 1980  
6.
Mayjen H. Eddy Sabara November 1980 Februari 1981 Pejabat Gubernur
7.
Drs. H. Ghalib Lasahido 19 Desember 1981 Februari 1986  
8.
Abdul Aziz Lamadjido, SH Februari 1986 16 Februari 1996  
9. Paliudju.JPG Mayjen TNI (Purn). H. Bandjela Paliudju 16 Februari 1996 20 Februari 2001 periode pertama
10. Aminuddin ponulele.jpg Prof. (Em) Drs. H. Aminuddin Ponulele, M.S. 20 Februari 2001 2006  
11.
Gumyadi 2006 24 Maret 2006 Penjabat Gubernur
12. Paliudju.JPG Mayjen TNI (Purn). H. Bandjela Paliudju 24 Maret 2006 sekarang periode kedua

Perwakilan di Jakarta

Anggota DPR dari Provinsi Sulawesi Tengah

  1. Syarifuddin Sudding, SH. MH. dari Partai Hati Nurani Rakyat
  2. Ir. H. Rendy Lamadjido dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
  3. Akbar Zulfakar Sipanawa dari Partai Keadilan Sejahtera
  4. Murad U. Nasir dari Partai Golongan Karya
  5. Muhidin M. Said, SE. MBA. dari Partai Golongan Karya
  6. Verna Gladies Merry Inkiriwang dari Partai Demokrat

Anggota DPD dari Provinsi Sulawesi Tengah

  • Nurmawati Dewi Bantilan, SE.
  • H. Sudarto, SH.
  • Ahmad Syaifullah Malonda, SH.
  • Shaleh Muhammad Aljufri, MA.

Demografi

Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 15 kelompok etnis atau suku, yaitu:
  1. Etnis Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
  2. Etnis Kulawi berdiam di kabupaten Donggala
  3. Etnis Lore berdiam di kabupaten Poso
  4. Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso
  5. Etnis Mori berdiam di kabupaten Morowali
  6. Etnis Bungku berdiam di kabupaten Morowali
  7. Etnis Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai
  8. Etnis Balantak berdiam di kabupaten Banggai
  9. Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
  10. Etnis Taa berdiam di kabupaten Banggai
  11. Etnis Bare'e berdiam di kabupaten Touna
  12. Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan
  13. Etnis Buol mendiami kabupaten Buol
  14. Etnis Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli
  15. Etnis Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong
  16. Etnis Dampal berdiam di Dampal, kabupaten Tolitoli
  17. Etnis Dondo berdiam di Dondo, kabupaten Tolitoli
  18. Etnis Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli
  19. Etnis Dampelas berdiam di kabupaten Donggala
Disamping 12 kelompok etnis, ada beberapa suku hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Suku pendatang yang juga banyak mendiami wilayah Sulawesi Tengah adalah Bugis, Makasar dan Toraja serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama Islam, lainnya Kristen, Hindu dan Budha. Tingkat toleransi beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi, kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan berupa rotan, beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.
Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping pimpinan pemerintahan seperti Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan upacara untuk menyambut para tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur serta tuak yang difermentasikan dan disimpan dalam bambu.

Budaya

Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama.
Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.
Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan.
Sementara masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang dan hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri.
Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.

Kesenian

Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya. Musik tradisional memiliki instrumen seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat - waino - musik tradisional - ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika festival.
Tari masyarakat yang terkenal adalah Dero yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II.

Agama

Penduduk Sulawesi Tengah sebagian besar memeluk agama Islam. Tercatat 72.36% penduduknya memeluk agama Islam, 24.51% memeluk agama Kristen dan 3.13% memeluk agama Hindu serta Budha. Islam disebarkan di Sulawesi Tengah oleh Datuk Karamah, seorang ulama dari Sumatera Barat dan diteruskan oleh Al Alimul Allamah Al-Habib As Sayyed Idrus bin Salim Al Djufri, seorang guru pada sekolah Alkhairaat dan juga diusulkan sebagai Pahlawan nasional. Salah seorang cucunya yang bernama Salim Assegaf Al Jufri menduduki jabatan sebagai Menteri Sosial saat ini.
Agama Kristen pertama kali disebarkan di kabupaten Poso dan bagian selatan Donggala oleh missioner Belanda, A.C Cruyt dan Adrian.

lklim

Garis khatulistiwa yang melintasi semenanjung bagian utara di Sulawesi Tengah membuat iklim daerah ini tropis. Akan tetapi berbeda dengan Jawa dan Bali serta sebagian pulau Sumatera, musim hujan di Sulawesi Tengah antara bulan April dan September sedangkan musim kemarau antara Oktober hingga Maret. Rata-rata curah hujan berkisar antara 800 sampai 3.000 milimeter per tahun yang termasuk curah hujan terendah di Indonesia.
Temperatur berkisar antara 25 sampai 31° Celsius untuk dataran dan pantai dengan tingkat kelembaban antara 71 sampai 76%. Di daerah pegunungan suhu dapat mencapai 16 sampai 22' Celsius.

Flora dan Fauna

Sulawesi merupakan zona perbatasan unik di wilayah Asia Oceania, dimana flora dan faunanya berbeda jauh dengan flora dan fauna Asia yang terbentang di Asia dengan batas Kalimantan, juga berbeda dengan flora dan fauna Oceania yang berada di Australia hingga Papua dan Pulau Timor. Garis maya yang membatasi zona ini disebut Wallace Line, sementara kekhasan flora dan faunanya disebut Wallacea, karena teori ini dikemukakan oleh Wallace seorang peneliti Inggris yang turut menemukan teori evolusi bersama Darwin. Sulawesi memiliki flora dan fauna tersendiri. Binatang khas pulau ini adalah anoa yang mirip kerbau, babirusa yang berbulu sedikit dan memiliki taring pada mulutnya, tersier, monyet tonkena Sulawesi, kuskus marsupial Sulawesi yang berwarna-warni yang merupakan varitas binatang berkantung serta burung maleo yang bertelur pada pasir yang panas.
Hutan Sulawesi juga memiliki ciri tersendiri, didominasi oleh kayu agatis yang berbeda dengan Sunda Besar yang didominasi oleh pinang-pinangan (spesies rhododenron). Variasi flora dan fauna merupakan obyek penelitian dan pengkajian ilmiah. Untuk melindungi flora dan fauna, telah ditetapkan taman nasional dan suaka alam seperti Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam Morowali, Cagar Alam Tanjung Api dan terakhir adalah Suaka Margasatwa di Bangkiriang.

Senjata Tradisional

Senjata tradisional masyarakat Sulawesi Tengah adalah Parang (Guma).

Tessa Tanah Kaili


Teluk Palu, Diambil dari AFFAN AKA AFFANDO Fotopage
Sebelumnya wilayah Kota Palu sebagai kerajaan Tanah Kaili dengan ibu negerinya Palu memberlakukan sistim pemerintahan adat raja-raja.
Pemerintahan tanah Kaili dipimpin seorang raja yang dikenal dengan sebutan To Manuru.
Raja-raja keturunan To Manuru disebut Madika. Kerajaan Tanah Kaili meliputi empat Kerajaan yaitu : Kerajaan Palu, Kerajaan Tawaili, Kerjaaan Sigi dan Kerajaan Banawa.
Masuknya pengaruh Belanda akhir abad 19 mengakibatkan
takluknya kerajaan-kerajaan dilembah Palu setelah di dahului oleh perang, setelah takluk, kerajaan-kerajaan Tanah Kaili
diikat dengan perjanjian jangka panjang (Lange Contruct), kemudian dilanjutkan jangka pendek ( Karte Velklaring).
Pemerintahan Kerajaan Tanah Kaili memiliki 3 badan :
1. Patanggota, artinya pemegang kekuasaan yang merupakan mentri. Patanggota terdiri dari empat orang berfungsi sebagai Badan Eksekutif.
2. Pitunggota, artinya pemegang kekuasaan yang merupakan mentri. Pitunggota terdiri dari empat orang yang berfungsi sebagai Badan Legislatif.
3. Valunggota, artinya pemegang kekuasaan yang merupakan mentri. Valunggota terdiri dari 8 orang yang berfungsi sebagai Badan Eksekutif.
susunan Pemerintahan kerajaan Tanah kaili pada masa raja-raja yang ditetapkan adat:
1. Magau adalah Raja yang dipilih dan dilantik secara adat
2. Madika Malolo adalah Raja Muda sebagai wakil magau, dengan syarat pemilihan yang sama dengan Magau.
3. Madika Matua adalah Perdana Mentri merangkap urusan luar negeri dan ekonomi diangkat dan diberhentikan oleh magau atas persetujuan Baligau atau Ketua Kota Pitunggota.
4. Punggava adalah mentri dalam negeri
5. Tadulako adalah mentri pertahanan keamanan
6. Galara atau mentri kehakiman
7. Pabicara atau mentri penerangan
8. Sabandara adalah mentri perhubungan laut
Namun pada akhir abad ke-19 Belanda masuk ke lembah palu dan menaklukan beberapa kerajaan. Beberapa kerajaan lagi melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda, salah satunya kerajaan Tatanga, namun yang menyedihkan beberapa kerajaan bersekutu dengan pihak Belanda untuk merebut kerajaan. Kerajaan yang kalah kemudian dihadiahkan kepada pihak sekutu dan mengankat Raja baru yang dianggap tunduk kepada Pemerintahan Belanda. Hal ini mereka tempuh untuk melanngengkan kekuasaannya. Hingga akhirnya banyak Raja-raja baru yang bermunculan. Yang sering menjadi pertanyaan hingga saat ini, apakah Raja-raja yang sering disebut saat ini benar - benar keturunan To Manuru ataukah raja yang di angkat oleh Belanda.
Wajar ketika pihak pemerintah Kota Palu menetapkan Pahlawan lokal Sulteng banyak menuai kritik. Bukan tidak beralasan, namun karena adanya sejarah yang simpang siur membuat kota Kaledo ini tidak memiliki Pahlawan lokal seperti Hasanuddin di Kota Makassar.